Lihat ke Halaman Asli

Kemana-mana

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Kemana-mana : Kegelisahan tentang Inflasi Istilah

Apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan kebenaran, dapat juga digunakan untuk menyampaikan kebohongan.

—Umberto Eco—

“Aku suka gaya tulisanmu, posmo banget,” kata seorang teman.

“Posmo gimana?”

“Posmodernisme,” tambahnya.

Beberapa bulan lalu, saya mengalami kejadian semacam dialog di atas. Saya baru tahu jika ada gaya tulisan yang bernama posmodernisme. Saya penasaran. Saya buka-buka buku. Sampai pada buku yang di dalamnya memuat pernyataan Baudrillard, fetisisme tanda. Buku apa saya lupa. Bodohnya saya. Ya, bisa jadi pengalamanku itu disebut fetisisme tanda. Fenomena pemujaan berlebihan terhadap tanda-tanda—berupa kata atau apa saja—ketimbang pemahaman makna dari tanda-tanda. Alasannya bisa jadi apapun. Pemujaan mungkin dilahirkan kecintaan. Ya, seperti aku cinta kamu. Aku memujamu. Dan, konon, cinta itu buta.

Saya tidak berani menerka mengapa bisa ada kata postmodernisme dalam dialog di atas—dan kemudian dihubung-hubungkan dengan gaya tulisan. Boleh jadi karena kecintaan penutur pada posmodernisme. Kebutaan penutur pada istilah posmodernisme. Ah, entahlah. Namun, sepertinya, setahunya saya, posmodernisme itu pada mulanya sebuah kata. Ya, kata seperti kata kursi, seperti kata puisi. Seperti juga kata saya. Setelah saya membolak-balik buku lagi, saya menemukan kata-kata Umberto Eco. Kata adalah (salah satu) tanda. Setiap kali ada tanda, ada makna. Makna itu tersebab hubungan antara penanda dan petanda, atau sebaliknya. Jika saya tidak salah baca, kira-kira begitu kata-kata Eco. Ada kata, ada tanda. Ada tanda, ada makna. Tapi, tidak dengan ada gula ada semut, itu peribahasa. Permasalahan tentang tanda terkadang membawa kerumitan-kerumitannya sendiri. Tanda itu merujuk pada makna yang apa, makna yang mana. Makna itu bersembunyi di balik tanda. Seperti tempat duduk empuk yang lazimnya diletakkan di ruang tamu atau ruang keluarga bersembunyi di balik kata sofa. Atau seperti gaya tulisan yang entah-seperti-apa bersembunyi di balik kata posmodernisme dalam dialog di atas.

Pemakaian tanda yang serampangan—seperti dalam fenomena fetisisme tanda dalam dialog tadi—berkecenderungan melahirkan pergeseran makna. Serampangan itu bisa jadi karena pemahaman yang setengah-setengah. Atau pemakai tanda—boleh jadi itu pembicara atau penulis—yang semena-mena menempelkan tanda-tanda. Seperti posmodernisme pada gaya tulisan. Tidak relevan. Tidak sesuai. Tidak tepat, pokoknya. Nggak nyambung, kata anak muda sekarang. Tapi, berpijak pada kata-kata anak muda sekarang pula. Jaka Sembung juragan mangga. Biar nggak nyambung, yang penting gaya.

Fenomena Inflasi Tanda

Pada mulanya adalah kata, lalu menjadi tanda—ketika ada makna yang bersembunyi di baliknya. Kata itu hasil perkembangan ilmu pengetahuan manusia. Kata ditemukan bersama bahasa. Siapa penemu bahasa? Bolehlah manusia meng-klaim diri sebagai penemu bahasa. Bisa jadi klaim sepihak. Tapi, sepertinya itulah yang tengah terjadi. “Posmodernisme yang saya maksud yang bla..bla..bla.” Atau “Mari kita adakan lomba drama realis untuk anak sma. Realisme yang cocok dengan anak sma itu yang bla..bla..bla..” Atas dasar perkembangan ilmu pengetahuan—kecurigaan agar terlihat pintar dan intelektual boleh dikesampingkan dahulu, pemakaian tanda menjadi penuh dengan klaim pribadi.

Pada mulanya adalah kata, lalu menjadi tanda. Pada perkembangannya, tanda ditempeli makna. Makna yang kemana-mana, tergantung penempelnya, terserah penuturnya. Inflasi tanda. Jumlah tanda yang beredar makin banyak, sehingga makna ideologis tanda tersebut semakin turun. Semakin kabur. Inflasi istilah, lanjutan dari fetisisme tanda-nya Baudrillard. Di televisi, di koran, di ruang kelas, di ruang diskusi, (sepertinya) kerap kali terjadi inflasi tanda. Di percakapan antarmanusia, di kegiatan belajar antara dosen dan mahasiswa, lahir makna-makna di balik tanda-tanda lama. Posmodernisme yang seperti ini, realisme yang seperti itu. Intelektual yang seperti ini, keren yang seperti itu.

“Sebagai kaum akademis, sudah menjadi tugas kita mengembangkan ilmu pengetahuan. Jiwa intelektual harus selalu dipupuk dengan sering-sering menggunakan istilah intelektual.” kata seorang dosen di ruang kelas. “Wah, dosenku yang satu ini pinter banget,” pikir mahasiswi aktivis kampus. Aktif kuliah di kampus, aktif pacaran di kampus, juga tentu saja, aktif facebook-an dengan wi-fi yang disediakan kampus. Kondisi masyarakat saat ini mendukung terjadinya inflasi tanda. Inflasi istilah, karena banyak yang pamer dan bergaya. Falsafah yang dipegang adalah, saya berani sok tahu sebab saya tahu kamu tidak tahu sama sekali. Ternyata sok tahu menyebabkan inflasi.

Saya gelisah. Jangan-jangan fenomena ini akan berujung pada tercerabutnya makna dari tandanya. Manusia dari khitohnya. Konon, manusia itu menelaah hidup-kehidupan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang objektif. Ilmu pengetahuan yang menuntut ciri-ciri utama. Kuda itu kuda, tunggangan cowboy di film barat. Bukan kuda yang Papa merangkak. “Yuk, Pa, main kuda-kudaan,” kata Nida. Bagaimana jika Nida adalah dosen, dan mahasiswa tak pernah menonton film cowboy. “Kuda itu yang seperti apa, bu dosen?” tanya mahasiswa. “Kuda itu yang Papa saya merangkak,” jawab Bu Nida. Mahasiswa mencatatnya. Inflasi tanda. Tanda akan kemana-mana. Lalu makna kemana-mana. Pendidikan akan kemana-mana. Ilmu pengetahuan ikut kemana-mana. Kebudayaan juga kemana-mana. Peradaban pun kemana-mana. Lalu, manusia kemana? Aku, kamu, kita, generasi muda bagaimana?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline