Lihat ke Halaman Asli

Rimba Kata

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rimba Kata

Biarkan saja pikirmu jatuh dalam pangkuan yang dingin. Sesekali tubuhmu menunjukan lelah yang sangat. Aku tak tega melihatmu berpikir tentang apa yang aku juga tak tahu, apa yang kau pikirkan.

Cangkir – Arya Sutha

Entah siapa yang pernah berkata, sastra adalah hutan rimbanya kata. Tetapi, bagiku, hutan dan rimba adalah dua hal yang berbeda. Berbeda seperti cangkir dan gelas. Hutan, setahuku, adalah tempat pohon-pohon ditanam oleh manusia untuk sesuatu, mungkin tujuan tertentu. Biasanya nama hutan ditentukan dengan jenis pohon yang tumbuh di dalamnya. Pohon-pohon yang sejenis. Hutan jati, misalnya, untuk menyediakan pasokan kayu jati. Hutan karet juga, menjadi tempat petani karet menyadap pohon karet. Hutan pinus, mungkin menjadi tempat yang rindang untuk sekadar berekreasi. Ya, hutan itu untuk manusia. Sedangkan rimba adalah belantara, tempat berbagai jenis tumbuhan di sana. Pohon besar, pohon kecil, tumbuhan suplir, jamur, dan apa saja yang bisa tumbuh di tanah, bisa jadi tumbuh di rimba. Jarang manusia yang menyentuhnya, sebab masih liar. Tak terbaca, bisa bikin tersesat.

Pun begitu dengan karya sastra. Puisi itu taman bunga, di ruang yang lebih kecil, kata-kata ditanam dengan seluruh kesiapan. Cerpen dan novel bisa jadi adalah hutan (atau) rimba. Bisa jadi hutannya kata-kata, bisa jadi rimbanya kata-kata. Hutan ketika kata-kata disusun berdasarkan sesuatu. Entah apa itu, bisa jadi alur cerita, petualangan tokoh, atau apapun keinginan penulis. Rimba ketika kata-kata dibiarkan tumbuh liar, tak ada kaidah di sana. Apapun yang ingin tumbuh, silakan tumbuh. Ide apapun yang ingin menjadi kata, silakan menjadi kata. Hutan memang teratur, tetapi keteraturan itu bagi beberapa orang dianggap batasan. Batas yang menjadikannya monoton. Rimba adalah liar, tantangan bagi yang suka tantangan.

Cerpen Cangkir karya Arya Sutha ini pun begitu. Aku menganggapnya sebagai rimbanya kata. Ide-ide tumbuh-bertumbuh di mana-mana. Tak perlu ada kaidah. Tak perlu ada alur cerita yang mengatur. Paling tidak, seperti itu pembacaanku. Sebab, tak kudapat alur cerita yang jelas. Mungkin sengaja dikaburkan. Mungkin memang tak pernah ada alur cerita di dalamnya. Ya, nama-nama bermunculan tapi tak satupun menjadi tokoh. Aku-tokoh pun hanya mengalir mengikuti arus kalimat.

Pada satu ketika aku-tokoh menggambarkan diri sebagai seorang penunggu. Seperti biasa itulah pekerjaanku, menunggu Ben buang air karena ia takut gelap, menunggu Agus yang sedang rapat, menunggu Hari makan dengan adiknya. Aku menunggu. Pada ketika lain, aku-tokoh menjadi pengamat tanda-tanda alam. Pantheist. Aku-tokoh bertanya tentang pesan apa—yang mungkin ada untuknya—dari cahaya yang perlahan-lahan memeluk dan bercumbu di langit sore. Lalu, di ketika yang lain lagi, aku-tokoh menjadi pembenci kopi tapi pecinta kebencian. Itu sebabnya, aku-tokoh sering minum kopi. Aku-tokoh semacam angin, yang bergerak dari lembah ke lembah. Berloncatan dari tanda ke tanda.

Ya, sepertinya memang begitu. Cangkir ini penuh dengan tanda—baik berupa kata atau kalimat atau tanda itu sendiri. Cangkir menjadi rimbanya tanda. Namun, semiotika tanda lahir dari strukturalisme Saussure. Dan, Saussure itu berpegang teguh pada oposisi biner. Ada siang ada malam, ada tinggi ada rendah. Ada gula ada semut bukan oposisi biner-nya Saussure, itu peribahasa Indonesia. Tentang tanda, Saussure mungkin menyebutkan ada tanda ada penanda. Tanda tak mungkin lahir begitu saja, selalu ada penandanya. Seperti kursi itu selalu lahir bersama konsep tentang kursi, entah itu tempat duduk, atau jabatan. Saya membayangkan Arya Sutha ketika menuliskan cerita ini. Ide-ide di kepalanya berkecamuk. Dan jemarinya, menuliskan apa saja yang terlintas.

Sebagai pembaca awam, saya curiga. Jangan-jangan Arya Sutha, melalui cerpen Cangkir ini, sedang melakukan semacam audisi siapa yang mampu tak tersesat di rimba katanya, rimba tandanya. Pembaca diajak masuk dengan kata-kata puitis. Pembaca dipancing masuk dengan kalimat-kalimat kuat yang ditata dengan indah. Tapi, di mana setapak tempat aku pulang, di mana alur ceritanya. Sial, mungkin saya bisa jadi pembaca yang tidak lolos audisi awal. Sebab, di beberapa paragraf awal, saya tak kunjung menemukan alur cerita. Tapi, membaca cerpen Cangkir ini, ketersesatan—mungkin yang menyebabkan saya gagal di audisi awal—bukan sesuatu yang perlu disesali. Arya Sutha sudah mampu menampilkan keindahan dalam merangkai kata, merangkai kalimat. Seperti diajak bertamasya, melihat keindahan rimba. Pepohonan di sana-sini. Rindang di sana-sini. Eh, itu ada air terjun, indah juga. Eh, ada lagi binatang liar, sensasi pemandangan yang tak kalah mengasyikkan. Tapi, di mana jalan pulang? Arya Sutha sebagai panitia audisi pasti mengantarkanku pulang. Ya, sebuah tamasya di rimba kata yang menyenangkan. Semoga, lain kali, Arya Sutha mengajakku bertamasya ke rimba kata lagi. Tapi, kali itu, aku berharap dia sudah menyiapkan jalur darurat jikalau nanti aku tersesat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline