Lihat ke Halaman Asli

Dari Tragedi Pulau Godang Muaro-Silokek

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Jannatul H Anuar, MA*)

“Telah terjadi (tampak) kerusakan (malapetaka) di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah akan merasakan kepada mereka sebahagian (akibat tindakan mereka) agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Al-Rum [30]: 41).

Masih segar dalam ingatan kolektif kita, beberapa waktu lalu terjadi banjir bandang berturut-turut di kawasan Limau Manih dan di beberapa titik lainnya di Kota Padang, 24 Juli 2012 dan 13 September 2012. Ratusan kepala keluarga terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Tidak dinyana, musibah tersebut telah menelan korban jiwa dan harta benda yang bukan sedikit.

Selasa, 25 September 2012, “giliran” Ranah Sijunjung ditimpa musibah galodo.

Menurut salah seorang sumber yang terpercaya, lokasi “tanah terban” itu terjadi di Pulau Godang, Nagari Muaro menuju arah ke Nagari Silokek. Sampai sejauh ini, dilaporkan telah ditemukan dua orang korban meninggal dunia.

Peristiwa tragis tersebut agaknya berkait-kulindan dengan aktivitas manusia beberapa tahun terakhir di wilayah ini. Salah satunya, apa yang pernah diberitakan Padang Ekspress, 04 Sept 2012, dan beberapa media lokal, tentang maraknya penambangan emas (baik legal apalagi liar) di Kabupaten Sijunjung yang berdampak buruk terhadap lingkungan, ekosistem alam, pencemaran air, bahkan hilangnya kepedulian sekelompok warga terhadap tatanan nilai adat dan agama. Demi pundi-pundi rupiah, tidak jarang—kalau tidak boleh mengatakan acapkali—waktu ibadah Jumat yang sakral pun tidak dihirau oleh pegiat tambang itu.

Tidak dinafikan, aktivitas penambangan emas, siang-malam tersebut berdampak baik bagi perekonomian masyarakat; lahir tuan takur-tuan takur baru, terbuka lahan pekerjaan, dan lain sebagainya. Namun kita harus mengatakan bahwa hidup bukan sekedar memenuhi hajat ekonomi, melainkan aspek intelektual, sosial dan spritual. Bagaimana jadinya keseimbangan alam ini dan keberlangsungan generasi mendatang yang terpaksa harus meneroka lahan baru ulah gelap mata kita yang menyulap segalanya menjadi gundukan tanah dan batu tanpa "makna"?

Dengan kejadian ini, dan seterusnya, kita mesti bercermin! Benar bahwa badai pasti berlalu. Tapi jangan tidak menyisakan bekas kepada perubahan kultur, cara berfikir dan kepribadian kita. Kenangan tanah longsor di Pulau Godang tidak boleh lewat seiring mengalirnya air sungai batang ombilin ke muara-laut sana. Tuhan mencoba kita dengan "cambuk" kecil ini agar kita kembali (ke jalan yang benar). Sekali lagi, ini bukan sekedar peristiwa alam yang hampa makna, yang semata-mata faktor musim, struktur tanah yang labil, dan seterusnya. Melainkan di sana terselip faktor-faktor kelalaian dan kerakusan manusia. Teringat kita pesan Nabi s.a.w.: “kalaulah manusia itu mempunyai dua lembah (ladang) emas, maka sungguh mereka akan mencari lembah yang ketiga (dan seterusnya). Tiadalah mereka puas dengan semua itu, hingga tanah menyumpal mulutnya” (HR. Bukhari dari Anas bin Malik, No. 6439).

Semoga Allah s.w.t. mengampuni segenap keserakahan kita dan menjadikan negeri ini damai lagi sejahtera. Kepada tim SAR dan relawan, apresiasi yang tinggi atas kerja kemanusian ini!

*) Putera Asli Daerah Sijunjungyang sedang belajar di SOAS Centre for Islamic Studies Universiti Brunei Darussalam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline