Perkembangan teknologi semakin pesat, arus informasi merambah semakin cepat. Persekian detik berbagai peristiwa dari segala penjuru dunia melimpah ruah meramaikan jagatmaya. Teknologi sejatinya merupakan alat yang memudahkan pekerjaan manusia, termasuk dalam kerja jurnalistik. Semenjak munculnya media baru, media massa konvensional seperti surat kabar cetak, majalah, tabloid, atau buletin, mulai ditinggalkan para pembacanya, dan memilih beralih membaca informasi melalui media sosial yang ada pada smartphone mereka.
Namun, informasi yang tersaji dalam media baru "internet" mengalir begitu saja, tidak ada "filter", artinya semua orang bisa langsung membagikan informasi apa saja serta tidak ada editor yang akan memeriksa akurat atau tidaknya informasi tersebut. Ini menjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan penyampaian informasi dalam kaidah jurnalistik, sehingga dibutuhkan pemahaman literasi media bagi pembaca yang mengakses informasi melalui media baru "internet".
Media massa sebagai "otoritas" informasi yang terpercaya kredibilitasnya, akan tetap mendapatkan kepercayaan pembaca apabila tetap mempertahankan idealismenya dengan memberikan informasi yang akurat, meskipun disaingi oleh media baru internet, dalam hal ini media sosial. Saat ini muncul istilah konvergensi media, dimana media massa konvensional merambah ke media digital, yaitu memiliki situs berita dalam format berita online.
Adanya penggabungan media massa konvensional dengan media online, bisa menghasilkan produk berita multiplatform sekaligus, seperti penggabungan teks, suara, gambar, dan visual, yang akan semakin mempermudah khalayak dalam memahami suatu informasi. Kemudian, inovasi multiplatform ini bisa menyelamatkan media massa konvensional dari ditinggalkan para pembacanya.
Dengan adanya media multiplatform ini menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis, dimana yang tadinya hanya berfokus pada satu bidang saja seperti jurnalis tulis, jurnalis foto, atau menjadi reporter, kini dituntut harus memiliki kemampuan multitasking, yaitu semua bidang yang dibutuhkan untuk kebutuhan liputan berita dalam format multiplatform.
Belum lagi kecepatan arus informasi, menjadikan jurnalis harus cepat dan cermat dalam "memburu" berita agar tidak terdahului oleh media sosial yangmana lebih mudah untuk penyebaran informasi. Terkadang, disini idealisme jurnalis dipertaruhkan, antara harus meliput berita sesuai kode etik jurnalistik, seperti mencari narasumber yang terpercaya, menelusuri keakuratan informasi ynag ingin dipublikasikan, atau hanya mengikuti berita yang viral di media sosial karena mengejar kecepatan.
Ironisnya, beberapa media online hari ini, ada yang hanya mengejar kecepatan berita, bahkan mengikuti pemberitaan yang sedang viral di media sosial, mengutipnya kemudian ditambahkan narasi, serta ditambah judul yang bombastis, agar menarik viewers. Berita yang tidak terlalu penting, tapi ikut ditulis dan disebarluaskan oleh media massa online akan semakin viral dan berita penting yang harusnya diketahui khalayak akan terkubur.
Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan berita kelepon yang tidak islami, media massa online juga ikut-ikutan memberitakan, sehingga menggiring opini publik untuk membahas isu kelepon tersebut di media sosial, padahal saat itu ada hal yang lebih penting untuk direnungkan dan menjadi perhatian publik, yaitu berita mengenai wabah virus corona yang sedang merajalela.
Banyaknya informasi di media sosial sudah tak terbendung, publik juga jadi bingung, mana yang benar dan salah. Saatnya media massa menyajikan berita yang bisa mengklarifikasi suatu isu. Agar publik yang bingung terhadap suatu informasi bisa segera mendapatkan kebenaran melalui informasi yang disajikan oleh media massa kredibel. Saatnya media massa kembali pada jati dirinya sebagai sosial control, memberitakan sesuatu yang akan berdampak positif bagi tatanan kehidupan.
Media massa harus mengedepankan idealisme yang merupakan pandangan hidup seorang jurnalis professional, dan barometer untuk menghasilkan berita yang berkualitas. Dan berita yang berkualitas, akan tetap memiliki nilai yang baik di mata pembaca. Idealisme juga dapat meningkatkan kepercayaan pembaca terhadap media massa dan hal ini tentunya dapat meningkatkan rating dan citra baik media tersebut.
Memang tidak mudah mempertahankan idealisme jurnalis di era digital sekarang ini. Idealisme dan kepentingan bisnis media terkadang berseberangan, sehingga membuat dilema jurnalis dalam meliput suatu berita, ketika harus meliput suatu berita, namun tidak sesuai dengan ideologi media massa yang menaunginya. Sehingga berita tidak jadi diliput. Oleh karena itu, jurnalis harus bisa memberitakan sesuatu yang penting, aktual, faktual, terbaru, dan tetap menarik untuk dikonsumsi publik. Antara idealisme dan kepentingan bisnis harus berjalan berdampingan, agar idealisme tetap terjaga, dan media tetap eksis, sehingga kesejahteraan jurnalis dan media akan terjamin.