Lihat ke Halaman Asli

Rebut

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

REBUT

(Janitradp)

Nama akrabnya Mat. Mat Thabrany, ya nama panjangnya adalah Mat Thabrany. Nama

yang diberikan orang tua nya, Mat yang berarti tulus dan Thabrany (biasanya dibaca tabroni oleh

guru dan teman-teman Mat) yang diartikan sebagai harapan dapat menjadi anak yang pintar. Mat

Thabrany, tulus dan pintar, merupakan harapan mulia orang tua kepada anaknya, agar senantiasa

bermanfaat dan suka menolong sesama saudara sebangsa setanah air nya. Ya, nama yang cukup

khas sebagai penduduk asli kampung halamannya yang sekarang menjadi Ibu Kota dari Negeri

Nusantara ini.

Senja kala ini, telah menggelapkan pandangan mata Mat dari jendela kamarnya yang

berbentuk persegi panjang yang berbingkai kayu Jati (pohon yang sekarang sudah semakin sulit

untuk dicari). Sayup-sayup mata Mat menatap langit oranye yang berubah menghitam. Dilirik

nya kearah jarum jam yang terdengar keras dentum jarum jam tersebut dikuping Mat. Tepat

jarum pendek jam tersebut berhenti diangka 6, jarum panjang nya berada di angka 28 dan disusul

jarum penghitung detik yang terus berputar di jam dinding lingkaran berwarna putih yang

menempel di dinding kamar Mat yang memakai wallpaper itu. Resah di raut wajah Mat

menggambarkan seolah dia seperti ingin dikejar serigala dari gunung es. Tak lama, terdengar lah

adzan Maghrib di kuping nya. Lekas dia menuju keran di dalam kamar mandi kamarnya setelah

adzan selesai berkumandang, tentunya untuk berwudhu dan lanjut untuk sembahyang dengan

cara agamanya.

Seperti anak kampung Jakarta pada umumnya yang biasanya memiliki tipikal sebagai

orang yang taat beragama, Mat juga tak kalah taat. Mat sering resah ketika dirinya belum

menjalankan sembahyang (sembahyang dalam agama Mat yaitu, solat sebagaimana ajaran agama

Mat sebagai muslim). Mat yang di kala senja itu merasa lelah, tidak tega untuk memejamkan

mata dan tertidur jika dirinya belum menjalankan sembahyang. Raut wajah Mat yang seolah

banyak urat yang kaku karena resah, seperti mengendur ketika Mat sudah selesai sembahyang.

“Akhirnya, udah solat Maghrib, udah ga ada yang ngeganjel lagi di ati buat rebahan. Haaahhh”

Kata Mat kepada dirinya sendiri sembari melepas lelah di atas kasur springbed nya.

Mat pun merebahkan dirinya di kasur selama 5 menit, tetapi dia pun tidak bisa juga untuk

tenang.

“Ga ngapa-ngapain, tanggung banget dikit lagi adzan Isya. Masa tidur sih.” pikir Mat

dalam benaknya dan di ucapkan oleh mulutnya sembari menatap langit-langit kamarnya.

Mat yang dari mulai sang fajar datang untuk menampakan sinar penyemangatnya, sampai

senja menggantikan keberadaan fajar, tidak berhenti berkutat dengan angka-angka fisika,

matematika dan kimia di sekolahnya. Mat pun beranjak dari kasurnya, sudah cukup

beristirahatnya. Pikir Mat yang tidak sabar untuk membuka buku pelajarannya. Tidak sengaja

Mat membuka buku Bahasa Indonesia milik anak kelas 2 sekolah dasar (Mat juga menjadi guru les untuk tetangga nya yang masih SD untuk sekedar mengisi waktu dan berbagi ilmu). Niat Mat

yang awalnya ingin belajar fisika menjadi tertunda karena membaca sebuah cerpen yang

menggambarkan kota lama dari Jakarta yang sekarang menjadi tempat bernaungnya.

“Coba aja bisa hidup di jaman dulu ya. Masih bersih lingkungannya, harmonis kehidupannya,

santun tingkah lakunya.” Tidak adil pikirnya, kalau pun memang kota ini harus menjadi kota

multikultural akan tetapi dengan semena-mena di rombak 180 derajat oleh mereka yang tidak

bertanggung jawab.

Bertanya-tanya di pikiran Mat. Apa yang akan Mat perbuat, dia hanya anak kelas 2 SMA,

tidak akan sanggup untuk membongkar gedung di sekitar pantai Jakarta, tidak akan sanggup

memberi pemikiran positif untuk para kriminal yang awal mula mereka datang ke Jakarta untuk

mencari pekerjaan halal akan tetapi malah terjebak dalam pemikiran sempit untuk mengais rejeki

dari merebut rejeki orang lain dan merusak sistem yang harmoni menjadi sistem yang ngeri, dia

bukan hanya menghadapi kriminal kelas teri, tetapi kelas kakap yang berdasi dan memakai

topeng bermuka teduh dengan mata sayu dan bibir manis.

“REBUT!” ucap Mat kepada dirinya sendiri.

Bukan dengan cara berdemo untuk mereka orang-orang kriminal yang tadi dia pikirkan.

Tetapi merebut dengan cara menanamkan nilai-nilai budaya nya dimulai dalam diri sendiri agar

masih bisa menyatakan bahwa “Saya adalah penduduk asli kampung ini, buktinya saya cinta

dengan alamnya dan yang lebih penting, saya juga mengenal budaya nya”. Dibuka nya internet

untuk mencari tahu di tempat mana dia harus belajar budaya nya sendiri, karena jujur saja

semenjak kecil Mat dengan orang tua nya jarang bertemu untuk membahas tentang suku nya,

kesalahan memang dari orangtua saat ini yang tidak mengenalkan anak cucu nya tentang budaya

aslinya. Akhirnya dapat lah sebuah nama kampung yang keluar di internet, yaitu, “Kampung

Betawi” tempat dimana dia bisa lebih mengenal budaya asalnya yang berada di ujung kota

Jakarta yang berbatasan dengan Depok.

Tidak terasa, sudah selama lima bulan dia belajar budaya Jakarta. Rasanya belum cukup

untuk menguasai ilmu budaya nya jika berhenti sedini itu. Akan tetapi berita buruk pun datang

karena tiba-tiba ayah nya meninggal akibat sakit Jantung yang sudah lama di derita oleh ayah

nya. Ibu nya pun tidak pasrah saja, sekarang dia hanya bisa bergantung dari berdagang dan mulai

mengganti pola hidup mereka. Jujur saja, pendapatan keluarga Mat yang sekarang tidak sanggup

untuk membiayai kehidupan Mat dan adiknya yang masih kecil dan terkadang masih merengek

manja untuk meminta susu. Ya, memang kehidupan yang dahulu Mat dan keluarga Mat punya

sangat mapan karena gaji dari ayahnya. Seperti cerita-cerita klasik, Ibunya lama-lama menjual

rumah dan pindah ke daerah pinggir Jakarta yaitu Depok. Tidak jauh memang dari Jakarta. Tapi

apakah tidak kecewa terusir dari kampung halamannya sendiri?

Kali ini, bukan di senja hari melainkan ketika fajar datang setelah ibadah solat subuhnya

telah usai, di kamar rumahnya yang baru saja Mat naungi (kamar yang jauh lebih kecil dan tanpa kamar mandi dan dinding yang berhias wallpaper di dalam kamarnya nya). Mat bersiap untuk

berangkat sekolah (jarak sekolahnya sekarang lebih jauh jika ditempuh dari rumah baru nya,

karena sekolah lama nya ada di Jakarta). Mat tidak melanjutkan sanggar nya di Kampung Betawi

karena Mat ingin lebih fokus sekolah dan meminimalisir keluar nya energi dari tubuhnya akibat

lebih jauh jarak tempuh ke sekolahnya. Bukan hanya itu, Mat juga bertekad lebih giat belajar

karena tahun depan Mat naik kelas 3 SMA dan ingin melanjutkan mengambil Teknik

Lingkungan (ilmu eksak yang mempelajari teknik untuk melestarikan lingkungan seperti

menjaga ke bersihan air, sanitasi, limbah-limbah dan juga sampah) agar dia bisa dengan tulus

menyumbang ilmu nya untuk membangun lingkungan sekitarnya khususnya lingkungan

kampung halamannya (yang sebenarnya sudah tidak pantas lagi dikatakan sebagai “kampung”)

dan jika sudah sukses menjadi ahli lingkungan, Mat sudah memiliki uang banyak, dia ingin

membuat sanggar untuk memperkuat budaya nya.

Mat yang sekarang bukan lah Mat yang dahulu menggebu-gebu untuk merebut Jakarta

dari mereka. Mat sadar Jakarta ialah Ibu Kota yang dimiliki semua orang di Negeri Nusantara

ini, Mat sadar Jakarta bukan untuk diperebutkan melainkan dijaga, Mat sadar Jakarta kini adalah

Ibu Kota, dan Mat sadar dimana pun dia tinggal, sekalipun itu di luar negeri, Jakarta tetaplah

kampung halamannya dan dia berharap ketika dia kembali ke kampung halamannya, tidak

banyak perubahan yang terjadi dan jika banyak yang berubah, Mat siap memperbaiki bersama

“Mat Mat” lain nya yang mempunyai visi dan misi yang sama untuk membangun kembali

kampung halamannya yang telah berubah. Tentunya membangun perubahan lewat ilmu yang

dituntut dan dipelajarinya, karena Mat tahu bahwa perubahan pasti akan terjadi. Suatu hari kelak

Mat yakin dia akan kembali bukan hanya memperbaiki sistem lingkungan akan tetapi budaya

nya.

“Biarlah. Biarlah “mereka” tinggal sekarang, tapi saya akan terus mengawasi dan akan

menikmati kenyamanannya di akhir cerita kelak.” Kata Mat kepada dirinya sendiri, sembari

menatap rumah-rumah dipinggir jalan yang terlihat dibalik jendela kereta listrik yang sedang dia

taiki untuk berangkat sekolah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline