Peristiwa kecelakaan pesawat CASA 212-200 milik Nusantara Buana Air yang terbang dari Medan ke Kutacane pada 29 September 2011 telah meninggalkan kekecewaan bagi para keluarga korban. Kekecewaan pelayanan terhadap pihak pemerintah yang bertanggung-jawab untuk memberikan bantuan pelayanan keselamatan (evakuasi) secepatnya. Tentu saja kecewa juga dengan pihak operator (airlines) yang dianggapnya juga tidak bisa menjaga keselamatan penerbangan.
Kekecewaan keluarga korban tampil di media televisi berulang-ulang seperti ingin menegor pihak pemerintah untuk segera tanggap dan perduli dengan harapan masyarakat. Tim SAR dan Basarnas dianggap keluarga korban terlalu lambat mengirimkan bantuan ke tempat kejadian. Sehingga banyak yang berasumsi bahwa kematian para penumpang tidak semata karena benturan keras saat pesawat jatuh tetapi juga karena terlambatnya tim evakuasi tiba di lokasi.
Selain kecelakaan juga kasus ketidak-puasan penumpang angkutan udara masih banyak kita temukan karena keterlambatan atau pembatalan keberangkatan yang menyebabkan penumpang melakukan aksi protes yang cukup keras bahkan hampir saja menyandera petugas di lapangan.
Persoalan pelayanan dan keselamatan angkutan udara memang tidak terlepas dari karakter atau etos kerja pekerja Indonesia yang boleh dikatakan banyak yang belum profesional. Namun demikian ada satu hal yang memang selalu kurang mendapat perhatian para pelaku bisnis yaitu manajemen krisis yang tidak dijalankan secara baik, khususnya manajemen krisis komunikasi. Hal ini terlihat dari kecelakaan CASA 212 tersebut, kurangnya koordinasi antar pihak-pihak yang bisa mempercepat proses evakuasi dan juga kurangnya informasi dari perusahaan penerbangan sehingga keluarga korban semakin resah. Cerita hubungan telepon genggam yang dilakukan keluarga korban dengan salah satu korban seyogyanya bisa cepat diselesaikan atau diklarifikasi.
Dalam suatu manual krisis komunikasi sesungguhnya sudah dijelaskan secara detil langkah-langkah penanganan terhadap penumpang atau publik lainnya (stakeholders) yang terkait dengan suatu kejadian incident atau accident.
Sudah sewajarnya pihak yang dirugikan (keluarga korban) mendapatkan pelayanan yang lebih dan tidak membiarkan keluarga korban semakin merasa susah atau tidak dilayani dengan baik oleh kejadian yang bukan kesalahannya. Pekerja di bidang pelayanan publik tidak hanya perlu profesional tetapi juga berhati nurani agar tanggap dan bisa berempati dengan kesusahan orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H