Lihat ke Halaman Asli

Analisis Novel Bukan Pasar Malam Karya Pramoedya Ananta Toer Menggunakan Pendekatan Mimetik

Diperbarui: 1 Maret 2022   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pengenalan

Bukan Pasar Malam merupakan novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1951. Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu sastrawan ternama Indonesia yang bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Sastrawan Lekra adalah sastrawan pada masa Orde Lama hingga Orde Baru yang dipengaruhi oleh aliran sastra realisme sosialis. Mereka melakukan protes pena, yaitu melakukan kritik terhadap pemerintahan Indonesia pada masa itu melalui karya. Meskipun novel Bukan Pasar Malam tergolong ke dalam karya awal Pramoedya Ananta Toer  sebelum ia bergabung dengan Lekra, karya Pramoedya ini mengandung kritikan terhadap pemerintah pada zaman itu.

Novel ini mencoba untuk merekam gambaran situasi Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, terutama orde baru. Dalam novel ini, Pramoedya melihat dunia di sekitarnya sebagai dunia hancur melalui gambaran kondisi rumah di desanya yang buruk dan suasana suram yang tak terdamaikan bagi orang-orang yang menjadi korban zaman yang tak berbelas kasihan itu. Pada judul novel, istilah pasar malam yang digunakan menunjukkan suasana hiruk-pikuk pasar yang menyenangkan, dimana orang-orang datang bersama dan pulang bersama. Namun pada realitanya, kehidupan tidak sama halnya dengan pasar malam, dalam hidup ini kita datang (hidup) dan pulang (mati) sendiri-sendiri. Renungan itulah yang terkandung dalam novel ini, sehingga pada judul dikatakan bukan pasar malam.

Sinopsis

Novel ini mengisahkan tokoh "aku" sebagai seorang pemuda revolusi yang mendekam di penjara selama satu setengah tahun karena peristiwa pemberontakan dalam pendudukan merah oleh Pesindo. Tak lama setelah tokoh "aku" keluar dari penjara, ia mendapat surat dari seorang pamannya yang memberitakan bahwa ayahnya sedang sakit terserang TBC dan dirawat di rumah sakit. Akhirnya dengan menggunakan uang pinjaman, ia bersama istri yang baru dikawininya bergegas pulang ke kampung halamannya menggunakan kereta api untuk menjenguk ayahnya. Dalam perjalanan pulangnya itu, pergolakan batin mulai memenuhi hatinya. Tentang keadaan sekitar yang telah berubah, tentang kenangan-kenangannya dahulu, juga tentang bagaimana keadaan ayahnya yang sedang sakit.

Sesampainya di kampung halamannya, Blora, terlihat keadaan rumah yang sudah sangat buruk dan nyaris runtuh. Mereka disambut ketujuh adiknya, akan tetapi salah satu adiknya tidak menyambutnya karena sedang sakit malaria. Perasaan senang yang diiringi sedih, karena dia sampai di rumah tapi ayahnya sakit dan adiknya yang ketiga juga sakit. Tak lama kemudian tokoh "aku" dan istrinya berangkat menuju rumah sakit dimana tempat ayahnya dirawat, perasaan sedih menyelimuti hati karena melihat keadaan ayahnya yang sekarang kurus digerogoti oleh penyakit.

Sudah berminggu-minggu lamanya ayahnya tak kunjung sembuh, paman dan bibi tokoh "aku" berniat pergi ke dukun guna meminta pertolongan untuk menyembuhkan penyakit ayahnya. Masyarakat di daerah itu memang sangat percaya terhadap hal-hal yang berbau mistis. Akan tetapi tindakan yang diambil oleh paman dan bibinya itu tidak berhasil, penyakit yang diderita ayahnya tetap tak kunjung sembuh. Melihat kondisinya yang tidak juga membaik, ayah dari tokoh "aku" meminta untuk dibawa pulang saja. Dengan sepenuh hati ia beserta adik-adiknya merawat ayahnya yang sakit. Segala permintaan ayahnya mereka turuti untuk kesembuhan ayahnya. Namun, sepertinya takdir lebih kuat dari semua usaha mereka. Ayahnya meninggal dunia menyisakan kenangan dan sifat-sifat yang tokoh "aku" tidak bisa lupakan, begitupun bagi orang lain. Jiwa besar ayahnya akan terus diingat.

Kematian ayahnya memberikan kesedihan yang begitu kepada keluarganya terutama tokoh "aku". Sosok figur ayah yang begitu dikagumi oleh tokoh "aku" karena kejujuran dan kegigihan hati. Ia merasa ayahnya adalah orang yang sangat idealis, nasionalis, dan bertanggung jawab. Hal tersebut dibuktikan melalui kisah dari adiknya, pamannya, tetangganya, dan orang-orang terdekat lainnya. Tokoh "aku" merenungi hidup ayahnya yang dilanda kekecewaan karena perjuangannya dalam menegakkan negerinya tidak menuju arah yang benar. Dan tokoh "aku" menemukan kenyataan betapa pahitnya hidup mempertahankan loyalitas kepada negara. Selain itu, tokoh "aku" juga mendapatkan banyak pelajaran hidup lain dari ayahnya.

Teori Kritik Sastra Mimetik

Kritik sastra mimetik merupakan jenis kritik sastra yang paling tua (pertama). Dalam buku Prinsip-prinsip Kritik Sastra, disebutkan bahwa kritik sastra mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan, pencerminan, atau penggambaran dunia luar dan kehidupan manusia. Kriteria yang utama dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambarannya terhadap objek yang digambarkan atau hendak digambarkan (Pradopo, 2003:192). Bahasan kritik mimetik mempunyai kecenderungan untuk langsung membandingkan realita karya sastra kepada realita yang faktual, sehingga hakikat karya sastra yang fiktif imajiner seringkali dilupakan. Kritik sastra mimetik cenderung untuk mengukur kemampuan suatu karya sastra menangkap gambaran kehidupan yang dijadikan sebagai suatu objek (Ristanti, 2012).

Pemberontakan Pesindo Pada Masa Orde Lama

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline