"Kapan lulus?," sebuah pertanyaan yang dilontarkan baik itu dari keluarga sendiri maupun orang lain. Adakalanya pertanyaan tersebut menjadi masukan, nasehat atau mungkin ancaman. Tergantung bagaimana keteguhan hatinya pendengarnya. Karena mungkin bagi seorang mahasiswa di setiap langkah di bangku kuliah bisa jadi adalah beban kehidupan atau disisi lain anugrah kehidupan.
Ada mahasiswa dengan niat sekedar mencari ilmu. Ada yang berniat mulia berkontribusi bagi negara. Ada yang terpaksa menjalani hari hari kuliah karena disuruh orang tua untuk dapat pekerjaann yang layak. Atau mungkin ada yang terpaksa menjalani kuliah karena ikut tren alias ikut-ikutan tanpa tau tujuan kemana setelah ia kuliah. Mungkin pilihan terakhir ini banyak yang begitu.
Lulus, satu hal yang harus digapai bagi mahasiwa-mahasiswi di semua kampus. Sejujurnya sebuah kelulusan adalah keinginan dalam tiap sanubarinya mahasiswa semester tua bahkan mahasiswa tepat waktu yang hampir kena DO. Selain karena tak ingin jadi donatur kampus, tentunya tak ingin mengecewakan orang tua atau membuat mereka menunggu-nunggu begitu lama. Lagipula bukankah event wisuda adalah momen yang paling ditunggu orangtua untuk membangga-banggakan anaknya pada orang lain?.
Nyatanya fakta di lapangan semua itu bergantung pada tekad masing-masing. Perlu manajemen diri yang tepat untuk semua itu. Mulai mengatur target skripsi, mengumpulkan keberanian, banyak cari tau dan pastinya biaya. Tapi meskipun tekad sudah membara ada saja halangan dan rintangan yang menerpa mahasiswa. Entah itu dari keluarga atau dirinya sendiri. Seperti penulis alami saat semester tujuh, karena masih banyak mata kuliah yang diambil, tanggung jawab organisasi dan juga skala prioritasnya belum untuk skripsi. Hingga penulis baru bisa menyelesaikannya saat semester sembilan.
Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. Pernyataan itu yang sering digaungkan oleh dosen-dosen. Betul memang intinya harus selesai. Realitanya, tak semua tahapan untuk menyelesaikannya itu dapat berjalan mulus tanpa kerikil hambatan. Ada salah satu teman yang sudah mengajukan seminar proposal dari tahun kemarin. Namun karena ia terlalu berhati-hati dan juga sangat perfeksionis sehingga merasa penelitiannya perlu diulang mengakibatkan ia tertinggal dari teman-temannya yang sudah lulus duluan.
Bahkan yang ada yang sangat berlebihan. Untuk mengajukan judul saja dia tidak berani karena menimbang banyak hal. Dia lebih perfeksionis dari orang yang sebelumnya. Dia tidak mau mengajukan proposal penelitian sebelum membuktikan sendiri kalau penelitiannya itu sudah benar tanpa kesalahan. Akibat pendiriannya itu ia rela cuti satu semester. Padahal kalau dipikir-pikir, sesusah apapun penelitian cukup jalani saja karena itulah gunanya dosen pembimbing skripsi. Penulis pun sempat mengalami masa masa dilema saat hasil penelitian yang cukup meragukan. Tapi ini hanya masalah komunikasi. Pada akhirnya penulis telah melewati badai tersebut.
Kelulusan bak salah satu pintu keluar dari sebuah labirin keilmuan. Membuat kita mengingat-ingat untuk apa kita masuk labirin tersebut. Mencari harta karun kah di sudut-sudut tertentu atau sekedar menikmati lorong-lorong labirin yang dipenuhi pengetahuan dan kebingungan atau justru karena terjebak dalam kesesatan dan lupa akan jalan masuk. Nampaknya perumpamaan ini cocok bagi mahasiswa yang merasa terlanjur salah jurusan.
Menurut kacamataku, ada dua tipe mahasiswa saat menyadari kalau dirinya terlanjur salah jurusan. Pertama, mencoba memperbaiki dan mencari jalan agar tidak semakin jatuh dalam kesesatan salah jurusan. Orang yang seperti ini akan berusaha sebaik mungkin untuk mencari jalan keluar meskipun ia tau jalan yang ia tempuh akan sulit dan akhirnya lulus. Kedua, tidak peduli dan biarlah bagaimana nanti saja. Orang yang seperti ini cenderung menganggap enteng suatu perkara dan malas untuk menyelasaikan tanggungjawabnya.
Contohnya sebut saja namanya F, dia satu jurusan denganku di jurusan Fisika. Tapi jiwanya bukan anak fisika melainkan hukum atau mungkin filsafat. Orangnya senang berdiskusi banyak hal dan dianggap pintar bicara. Apapun itu akan ia jawab saat ditanya. Sehingga hal itu membuat ia tertarik masuk UKM yang berfokus pada penelitian dan kajian. Tapi ia fokus pada kajian karena senang bicara. Semua jenis kajian ia kuasai. Saat kutanya kenapa ia bersemangat saat di UKM dan sebaliknya saat belajar di jurusannya. Ia menjawab kalau itu bukan passion. Lagi pula ia bingung jadi apa dan ia pun berpikir tanpa kuliah pun ia akan mewarisi bisnis ayahnya sebagai pedagang mebel. Jadi ia tak ambil pusing dan tetap santai menjalani kuliah meskipun teman-temannya berlomba-lomba untuk lulus karena memang sudah waktunya.
Setelah kata "lulus" sudah usang dilempar. Muncullah kata "kerja". Orang-orang di sekitar lambat laun akan berkata "nanti kerja apa?" atau "udah kerja belum?". Kalimat tersebut nampak seperti sebuah perhatian seseorang. Tapi percayalah bagi orang yang berada dalam kondisi mental yang kelelahan, kalimat itu sangat mengintimidasi dan mengancam. Mereka bertanya tanpa berpikir apa yang tengah dialami oleh sang "graduated". Tanpa mengurangi rasa hormat, masa mencari kerja bisa dibilang masa-masa sulit dan diperlukan mental baja untuk terus bertahan.