[caption id="attachment_405060" align="aligncenter" width="600" caption="Anak Sedih/Shutterstock-Kompas.com"][/caption]
“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu,” begitulah pesan Khalifah Kedua Umat Islam, Umar bin Khaththab.
Benar apa yang dikatakan Umar bin Khaththab, bahwa zaman generasi sekarang berbeda dengan generasi sebelumnya. Zaman di generasi anak-anak kita nanti pasti berbeda dengan zaman kita sekarang. Tapi, benarkah mental generasi anak sekarang lebih rapuh jika dibandingkan dengan generasi orang tua kita dulu? Bagaimana dengan mental generasi anak, 10-20 tahun yang akan datang?
*****
Baru-baru ini di daerah saya, dihebohkan kematian seorang bocah usia 10 tahun dengan cara yang tidak lazim, yakni diduga bunuh diri dengan cara gantung diri, Jumat 20-3-2015.
[caption id="attachment_357152" align="aligncenter" width="300" caption="Surat wasiat yang ditulis bocah sebelum mengakhiri nyawanya (foto: www.rakyatbengkulu.com"]
[/caption]
Diduga, bocah ini nekat menghabisi nyawanya sendiri karena persoalan yang sebenarnya sepele. Hal tersebut terungkap dari sebuah pesan yang sengaja dituliskan oleh sang bocah pada secarik kertas. Bahwa korban sengaja bunuh karena dituduh mencuri 2 tali tambang, warna hijau dan kuning.Dugaan bunuh dirinya juga diperkuat oleh pernyataan Kapolres RL, AKBP. Dirmanto, SH, S.IK melalui Kasat Reskrim, Iptu. Mirza Gunawan yang saya kutip dari dari www.rakyatbengkulu.com :
Setelah dilakukan penyelidikan mendalam, pihak Polres Rejang Lebong (RL) menyimpulkan kematian Thomas Satria (10), warga Desa Kampung Delima, Kecamatan Curup Timur murni akibat bunuh diri. Baik dari keterangan sejumlah saksi yang diperiksa, barang bukti maupun hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) serta bukti visum medis, tidak ada yang menguatkan dugaan pidana. ‘’Dengan itu untuk sementara kasus ini kami simpulkan bunuh diri. Jika di belakang hari ditemukan bukti lain yang menguatkan adanya unsur pidana, maka akan kami proses kembali,’’ tegas Kapolres RL, AKBP. Dirmanto, SH, S.IK melalui Kasat Reskrim, Iptu. Mirza Gunawan.
Dijelaskan Mirza, surat wasiat yang diduga ditulis sendiri oleh korban merupakan bukti utama penguat bagi pihaknya dalam menarik kesimpulan dalam kejadian ini. Tulisan di surat wasiat itu sama persis dengan tulisan korban yang ada di buku tulis belajarnya. Posisi korban juga ditemukan pertamakali oleh neneknya dalam kondisi sudah tewas di kamar tanpa ada orang lain yang lebih dulu masuk.
Sebenarnya, kasus bunuh pada usia anak (UU No. 23 Tahun 2002, pasal 1 ayat (1), “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”) bukan hanya sekali ini saja terjadi. Apalagi ditambah dengan percobaan bunuh diri, yang berhasil diselematkan. Sayangnya saya belum berhasil mendata berapa kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri pada usia anak. Mungkin sudah ratusan kali atau bahkan ribuan kasus.
Aksi nekat itu rata-rata hanya karena persoalan sepele (menurut kita). Misalnya, hanya karena dimarahi orang tua, tidak dipenuhi keinginannya, putus cinta dan persoalan sepele lainnya. Sungguh miris memang. Begitu mudah anak menghabisi nyawanya hanya karena persoalan-persoalan yang menurut sebagian besar orang sepele. Beberapa kasus lainnya, anak yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, akan melakukannya kembali hingga keduakalinya, ketiga kali dan seterusnya, jika keinginannya tak berhasil dipenuhi atau jika terluka hatinya.
Di sinilah peran penting orang tua dan lingkungan mendidik anak-anak kita. Di era globalisasi dan semakin canggihnya teknologi, terkadang memang sangat membantu. Tetapi, bisa juga sangat menjerumuskan. Kemudahan-kemudahan karena teknologi secara tidak sadar telah menjerumuskan dan akibat teknologi itu pula secara tidak sadar kita sudah salah dalam mendidik anak. Kita ambil contoh, berapa banyak ibu-ibu sekarang yang memasak nasi menggunakan dandang? Apalagi memasak nasi menggunakan tungku. Saya rasa, rata-rata masyarakat sekarang memasak nasi menggunakan magic com, alasannya kesibukan memaksa kita menggunakan cara mudah tersebut, memasak dengan magic com dianggap lebih praktis dan mudah. Padahal, jika benar-benar dirasakan, rasa dan aroma nasi yang dimasak dengan dandang apalagi dengan tungku jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan magic com.
Secara tidak sadar, kita sudah mendidik anak-anak kita bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu bisa dilakukan dengan mudah dan instan. Mungkin, anak-anak kita sekarang sama sekali belum pernah merasakan nikmatnya nasi yang dimasak di atas tungku.
Kurang Gigih
Kebetulan, Minggu kemarin, saat berkunjung ke rumah orang tua, datang seorang tamu teman akrab orang tua saya. Di sela-sela perbincangan, kami terseret keperbincangan soal anak. Dia mengatakan, mencari kerja di zaman sekarang susah, tetapi setelah mendapatkan pekerjaan seperti kurang gigih, mudah menyerah dan terlalu mudah memutuskan untuk resign. “Ngototnya kurang anak-anak sekarang,” kata teman bapakku.
Lalu dia menceritakan, bagaimana dahulunya ketika dia dan orang tua saya masih muda. Untuk bisa sekolah saja, harus berjalan kaki hingga puluhan Kilometer dan harus melewati rimba. Rumah belum diterangi cahaya listrik, kalau mau makan sepulang sekolah harus masak sendiri. Begitupun ketika sudah bekerja, harus rela berjalan kaki puluhan Kilometer hingga sampai ke tempat kerja (pulang-pergi), walaupun gaji yang dibayarkan sangat kecil, karena masih berstatus honorer di sebuah instansi pemerintah. Tetapi, karena keinginan keras untuk bekerja semua itu bisa dilalui. Sebab menurutnya, orang tua mereka (nenek) bukan orang kaya, kalau ingin mendapatkan uang ya harus bekerja. “Subuh-subuh kami sudah keluar rumah, pulang kerja sore, sampai ke rumah sudah hampir magrib,” katanya menceritakan.
Tidak jarang, mereka harus menerima ancaman dari para rampok, yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawanya. Sehingga mereka harus pandai-pandai menjaga diri. Meski demikian, mereka tidak menyerah, hingga akhirnya pemerintah mengangat orang tua kami menjadi Pengawai Negeri Sipil (PNS) dan sekarang sudah pensiun.
Begitu beratnya perjuangan mereka dulu, hingga bisa seperti sekarang ini. Sedangkan kami hanya tinggal menikmati saja hasil jerih payah mereka dulu. Fasilitas yang kami dapatkan jauh lebih baik ketimbang saat mereka muda dulu.
Perbedaan ekonomi inilah, menurut tamu orang tua saya itu yang membuat mental anak-anak sekarang rentan dan cenderung rapuh. Sekarang, mau apa-apa tinggal minta. Hampir semua fasilitas tersedia. Bahkan, banyak remaja sekarang bersekolah menggunakan sepeda motor. Jika tidak dibelikan sepeda motor tidak mau sekolah. Mau bikin tugas tinggal copy paste dari google. Mau main, tidak harus bersusah-susah membuat mainan sendiri, tinggal buka laptop, ada seabrek permainan (game). Bahkan sekarang sudah ada tablet, I-Phone dan smartphone. Anak-anak usia 2-3 tahun saja sekarang sudah kenal dan bisa membuka smartphone sendiri. Di rumah ada televisi yang bebas ditonton anak-anak, yang terkadang lepas dari pengawasan orang tua. Kecanggihan dan kemudahan teknologi ini belum apa-apa. Bisa dibayangkan bagaimana nanti 10 hingga 20 tahun yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H