Lihat ke Halaman Asli

Iman Kurniawan

Blogger & Jurnalis Warga

Nasib Golongan Menengah Akibat Kenaikan BBM

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara garis besar, kelas ekonomi masyarakat terbagi menjadi tiga. Yakni, ekonomi menengah ke atas, ekonomi menengah dan ekonomi menengah ke bawah. Terdapat beberapa item penilaian mengapa disebut sebagai ekonomi kelas atas, menengah dan bawah.

Ekonomi atas tentunya sudah semua tahu adalah mereka yang hidupnya serba berkecukupan, kaya raya dan bisa dikatakan tidak ada kesulitan ekonomi. Sedangkan ekonomi menengah ke bawah adalah mereka yang selama ini hidup serba kesulitan secara ekonomi, pendapatannya bisa dikatakan tidak menentu, kalau pun tetap tidak bisa mencukupi kehidupannya sehari-hari. Mereka biasa disebut golongan yang berada dalam garis kemiskinan secara ekonomi. Nah, kelas ekonomi menengah adalah golongan yang berada di tengah-tengah, disebut miksin tidak kaya pun tidak. Seperti kami ini, miskin tidak disebut kaya masih sangat jauh.

Terkait dengan rencana pemerintahan Joko Widodo yang akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) tentu saja sangat berdampak kepada terhdap sendi-sendi perekonomian. Siapa yang paling merasakan dampaknya? Mereka yang berada di kelas menengah. Sebab, kelas menengah ini berada pada posisi menggantung, serba tanggung.

Jika harga BBM bersubsidi naik Rp 3000 per Liter, dari sekarang Rp 6.500 per Liter, maka harga BBM menjadi Rp 9.500 per Liter. Sudah pasti, kenaikan harga ini akan berdampak kepada naiknya seluruh kebutuhan pokok, mulai dari SANDANG, PANGAN dan PAPAN. Bagi mereka yang disebut sebagai golongan kaya, tentu kenaikan harga kebutuhan pokok tidak akan begitu berpengaruh, mereka masih sanggup untuk memenuhinya. Sedangkan, mereka yang disebut sebagai golongan miskin sudah jelas statusnya. Berbagai kebijakan pemerintah telah disiapkan untuk mereka yang disebut miksin tersebut. Mulai dari Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KK) serta kompensasi-kompensasi lainnya. Bagaimana dengan mereka yang kehidupannya “pas-pasan” atau berada di garis menengah? Untuk menerima kompensasi rasa-rasanya tidak mungkin, karena bukan termasuk keluarga miskin. Apakah mereka yang hidupnya “pas-pasan” mau mengantre untuk mengambil kompensasi? Saya rasa tidak. Dengan naiknya harga semua kebutuhan bahan pokok tentu akan menjadi beban yang sangat berat. Pada akhirnya, jatuh pada garis kemiskinan. Maka benarlah, menurut beberapa pengamat ekonomi, dengan naiknya harga BBM akan meningkatkan jumlah angka kemiskinan.

Saya mencontohkan teman saya yang berencana mendirikan rumah di tahun 2015 ini. Berdasarkan perhitungannya saat ini (sebelum harga BBM) naik, anggaran dana yang dimilikinya cukup untuk mendirikan satu rumah sederhana. Namun, muncul kekhawatiran, dengan naiknya harga BBM sudah barang tentu berimbas juga terhadap naiknya harga bahan-bahan bangunan dan biaya tukang bangunan. Sehingga, dia pun pesimis apakah bisa mendirikan rumah di tahun 2015 nanti. Sedangkan anggaran dana itu baru ada di tahun 2015 nanti.

Saya sendiri agak heran dengan berbagai statemen orang-orang pintar di atas sana yang mengatakan BBM bersubsidi hanya dinikmati orang-orang kaya. Bukankankah sudah ada kebijakan pemerintah untuk kendaraan mewah, industri diwajibkan membeli BBM non subsidi. Tinggal bagaimana fungsi pengawasannya. Sedangkan mereka yang membeli BBM bersubsidi adalah mereka para tukang ojek, angkutan umum perkotaan, angkutan pedesaan, para nelayan dan sebagainya. Siapa yang naik ojek? Siapa yang naik angkutan umum? Ya, mereka yang tentunya bukan berada di kelas menengah atas. Dengan naiknya harga BBM sudah pasti ongkos ojek naik, ongkos angkutan umum juga naik. Bukankankah akan menjadi beban para penumpangnya.

Saya sempat berbincang-bincangan dengan beberapa tukang ojek di daerah saya. Selama ini ongkos ojek berkiesar antara Rp 4.000 – Rp 5.000. Tetapi, dengan naiknya harga BBM mereka memprediksi ongkos ojek akan naik menjadi Rp 10.000. Apakah para tukang ojek ini diuntungkan? Apakah kenaikan itu sudah layak dan bisa mengimbangi kenaikan harga BBM, sehingga bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya? Jawabannya TIDAK. Karena sudah bisa dipastikan penumpang akan sepi, Masyarakat beramai-ramai membeli motor pribadi. Karena, bisa jadi saya menduga, perusahaan leasing beramai-ramai menjual motor dengan uang muka yang sangat murah.

Atas dasar tersebut, kami menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline