Lihat ke Halaman Asli

Mendulang Permata dalam Lumpur

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permata adalah suatu barang yang tak terkira harganya. Sehingga, banyak orang yang dapat hidup karena benda berharga ini, dan banyak pula yang harus mempertaruhkan nyawanya karena barang ini, seperti yang banyak terjadi di beberapa Negara miskin Afrika, seperti yang digambarkan dalam film
“Blood Diamond”.
Mahalnya permata tak sekedar karena rupanya yang elok semata, tetapi juga karena sangatlah sulit dan sukarnya mendapat barang yang sangat berharga itu. Kita harus mendulang dengan tekun dalam
Lumpur-lumpur sungai di antara bebatuan yang terserak. Tak berhenti di sana, batu-batu mulia itu pun harus diuji dengan teliti terlebih dahulu keasliannya.
Mungkin tak berlebihan bila saya membandingkan permata  dengan nilai-nilai positif yang ada pada diri anak-anak yang berkonflik dengan hukum (AKH), terlebih ketika mereka harus mendekam di penjara. Dalam hampir setiap pendampingan AKH, kami senantiasa dihadapkan dengan kesulitan-kesulitan
mengeksplorasi nilai-nilai positif pada diri anak.
Tak hanya itu, kita pun seringkali berkendala untuk memotivasi mereka untuk mau bercerita dan
mengikuti kegiatan pendampingan secara penuh. Selalu saja ada beberapa orang anak yang nampak murung, kurang antusias dan enggan mengikuti kegiatan pendampingan. Hal inilah yang sering dikeluhkan para pendamping, terlebih para pendamping baru.
Acapkali kesulitan dan hambatan ini muncul karena kondisi mental dan psikologis anak-anak yang tertekan dan tidak stabil. Dalam pengamatan kami, mereka cenderung melakukan sikap apa yang
kami menyebutnya sebagai Defense Mechanism (mekanisme pertahanan diri). Sikap ini diwujudkan dalam bentuk diam, menghindar, dan berbohong atau menutup-nutupi keaslian cerita sebenarnya. Perilaku anak seperti ini dilakukan sebagai wujud melindungi diri mereka dari beberapa tekanan selama anak-anak berada dalam penjara.
Namun dengan berbagai usaha yang kami lakukan, lambat-laun hambatan-hambatan seperti ini mulai
berkurang. Tak jarang beberapa orang anak pun sengaja menghampiri saya dan teman-teman pendamping untuk bercerita banyak tentang diri mereka.
Kami mengibaratkan cerita anak-anak di penjara ini sebagai permata, karena cerita-cerita itu tak sekedar membuat kami terharu tetapi juga telah banyak memberi inspirasi dan menjadikan kami semakin sadar realitas lain dalam kehidupan masyarakat kita, khususnya kehidupan anak-anak. Tentu saja hal ini harus menggunakan cara pandang yang sangat terbuka dan jauh dari penilaian buruk terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum ini. Dan sedikit lebih sabar dan teliti mendengarkan cerita anak-anak.
Seperti dalam pendampingan hari ini, saya sedikit mendapatkan cerita dari dua orang anak, sebut saja Diki (17 tahun) dan Dandi (17 tahun). Meski hari ini topic pembelajaran kami adalah melukis kaos, tidak sedikit pun Diki tertarik mengikutinya. Ketika saya menanyakan kepadanya tentang kekurang
tertarikannya untuk menggambar atau melukis, Diki beralasan bahwa ia sejak kecil sangat lemah atau tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menggambar. Bahkan dengan sedikit agak bercanda ia berkata kepada saya,”Ah saya nyerah Kak kalau disuruh menggambar mah.” Meski demikian, ia mempunyai bakat besar di bidang lain, yaitu olahraga, khususnya sepak bola. Sebelum masuk tahanan, Diki terdaftar sebagai siswa di Sekolah Sepak Bola (SSB) di bawah Persib. Sehingga, Diki mempunyai cita-cita selepas keluar dari penjara nanti akan mengikuti seleksi pemain Persib U-19. Untuk kepentingan ini, selama di penjara Diki senantiasa menjaga kondisi fisiknya, termasuk tidak tergoda untuk membuat sebuah tato pun di tubuhnya seperti sebagian anak-anak yang lain.
Berbeda dengan Diki, Dandi sedikit punya bakat menggambar. Sayang, ia tidak punya cukup
kesempatan untuk mengembangkan bakatnya tersebut. Maklum ketika masih berada di luar tahanan, sebagian waktunya ia habiskan di pasar untuk membantu kedua orang tuanya berjualan. Menurut pengakuan Diki, ia termasuk anak yang cukup mendapatkan kasih sayang. Hal ini dibuktikan
dengan terpenuhinya segala keinginannya oleh orang tuanya. Sayang karena salah pergaulan dan pengaruh minuman keras, ia bertengkar dengan ayahnya dan kabur dari rumah. Celakanya, ia malah tergoda untuk mencuri 1 unit sepeda motor. Diki pun harus meringkuk di dalam tahanan.
Kedua orang anak ini sama-sama menyesali segala perbuatannya. Keduanya pun bertekad untuk
melakukan segala yang terbaik bagi keluarganya, terlebih lagi keluarga mereka masih sangat menyayangi dan memerhatikan mereka meski sekarang keduanya berada di dalam penjara.
Memang, keluarga masih sangat banyak memberi pengaruh dalam perkembangan mental dan psikologis anak. Sayang, dari penuturan beberapa anak-anak yang saya dampingi di dalam penjara, banyak di antara mereka yang terkesan telah jauh atau menghindar dari keluarganya. Sehingga seringkali mereka mengaku tidak mempunyai tempat kembali selain ke dalam lingkungan keras yang telah mendorong mereka berbuat kejahatan.

Demikianlah, permata tentu saja tidak akan pernah mempunyai harga yang tinggi ketika masih tertanam dan dipenuhi Lumpur. Permata itu pun harus tekun kita bersihkan. Dan hanya orang-orang yang sangat paham terhadap kadar permata yang dapat menilai keaslian dan bisa menghargai permata tersebut. Wallahu a’lam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline