Lihat ke Halaman Asli

Cangkir Tua

Diperbarui: 1 November 2021   20:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

favim.com

"Kacau. Semua kacau."

Seorang lelaki kumal bertubuh tinggi kurus memasuki kedai, kebingungan. Ia menepuk-nepuk tengkuknya sembari berjalan mendekati lelaki lain yang tengah duduk membaca koran. Tangannya yang besar ia tangkupkan pada meja dan kemudian menggeleng-geleng kepalanya.

"Ada apa?" lelaki yang membaca koran bertanya, tenang.

"Mungkin memang sudah seharusnya." Ucap lelaki kumal, "Takdirku menjadi miskin. Sudah seperti itu."

Aku tidak tahu pasti, tapi sepertinya kedua lelaki ini cukup dekat. Yang satu penuh keputusasaan, sementara yang lain penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Aku tidak tahu pasti. Sebab aku hanya sebuah cangkir tua yang terpajang pada rak dinding kedai. Antik dan berdebu. Para manusia menyebutku berharga. Sebab bagi mereka, aku memiliki nilai tinggi dan sulit ditemukan.

Sebagai cangkir tua, aku telah menyaksikan banyak hal yang terjadi di kedai ini. Terlalu banyak. Rahasia setiap pengunjung. Bahkan aku mengetahui apa yang disimpan oleh Paolo, pemilik kedai, di ruang bawah tanah. Sebongkah berlian dan sejumlah uang. Namun aku tidak akan bisa menceritakannya pada siapapun, atau bahkan diam-diam mengambil dan menggadaikannya.

Ah, andai saja aku manusia. Andai saja.

Kedai ini tidak begitu ramai pada hari selasa dan jumat siang. Kau bahkan bisa menghitung jumlah pengunjung dengan jari-jari tangan manusia. Tetapi jangan tanya apakah ramai pada jam lain. Karena selain kedua hari itu, pengunjung selalu banyak. Bahkan aku sering melihat Thea, sang pelayan kewalahan melayani para pengunjung.

Pernah suatu hari aku mendengar Thea berbisik pada temannya. Ia berencana berhenti dan kembali ke kampung halamannya. Dari apa yang Thea katakan, ibunya sudah tua dan tengah sakit. Sehingga Thea harus pulang merawat ibunya.

"Uang yang aku kumpulkan dengan bekerja dua tahun disini sudah cukup." Begitu kata Thea. Aku, entah mengapa, tersenyum sendu. Manusia menua dan kesehatannya akan mulai terganggu. Namun mereka memiliki seseorang disana. Yang menjaga dan merawat mereka. Aku menoleh tubuhku. Cangkir putih ini dulu bersih dan sering terisi teh hangat. Tapi tidak sekarang. Aku telah tua dan berdebu. Pada sudut bibirku terdapat pecahan. Sedikit. Aku ingat, saat itu Paolo mengeluarkanku dari kardus, dan tanpa sengaja menabrak piring yang tampak seusia denganku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline