Ada korelasi yang erat antara waktu, kesempatan dan kejadian. Kita sebagai manusia menjalani hidup kita sebagai sebuah peran dan acap kali kita sebut dengan menjalankan takdir yang sudah tersurat. Dalam kesimpulannya kita cenderung membagi takdir dalam tika pertemuan hidup, jodoh, rezeki dan mati, itu yang biasa kita kaitkan dengan takdir, tapi menurut saya takdir lebih dari itu sejak kita dibuahi, menjadi embrio dan lahir ke bumi, dari rahim siapa pun yang tidak bisa kita pilih, itu sudah menjadi babak pertama dari sebuah drama kehidupan yang kita sebut dengan takdir.
Saya mencoba membuat tulisan ini menjadi lebih bergairah, dengan membawa istilah takdir lebih menarik tidak melulu berbicara jodoh, rezeki dan kematian. Dalam perjalanan hidup acapkali takdir kita kaitkan dengan hal hal yang tidak bisa kita terima, kekalahan, kesedihan, kerugian atau bahkan terjebak dalam asmara yang rumit, untuk membuat semuanya menjadi lebih baik, kondisi itu kita sebut dengan "inilah kehendak takdir".
Namun nyatanya dari hati kita yang paling dalam kita tidak benar benar bisa mengikhlaskan kejadian tersebut dan masih berharap takdir lain menyentuh kita, kata kata "inilah kehendak takdir" menjadi placbo effect yang bersifat sementara untuk menghibur diri dikarenakan hal yang kita harapkan tidak terjadi atau sesuatu yang kita inginkan tidak bisa kita penuhi. Apakah ini adalah sebenar benarnya takdir? atau ini hanyalah kegagalan yang kita derita karena kesalahan kita. Dan begitulah diksi takdir diseret dalam skenario kegagalan kita, agar selalu terlihat sebagai sorang kesatria.
Takdir ku adalah bagian dari takdir mu dan sebaliknya takdir mu menjadi bagian dari takdir ku, sebagai mahluk sosial kita tidak akan pernah lepas dari orang lain, interaksi antar manusia akan menjadi bagian penting dalam penentuan sebuah takdir, ada cerita menarik soal takdir, seorang pendeta bernama Johann Kuehberger diramalkan akan bertanggung jawab terhadap peristiwa tragedi pembunuhan terbesar di muka bumi ini, kala itu pendeta Johann hanya tersenyum dan berlalu begitu saja, sampai satu ketika sang pendeta mendengarkan teriakan seorang ibu yang meminta tolong, dikarenakan anaknya tenggelam, pendeta Kuehberger dengan instingnya segera menyelamatkan anak itu, semuanya baik baik saja dan pendeta Kuehberger memeluk anak itu, semua terasa indah sampai sang ibu memerintahkan anaknya mengucapkan terima kasih kepada pendeta Kuehberger , Adolf Hitler !!, ayo ucapkan terima kasih kepada pendeta Kuehberger .
iya begitulah takdir bekerja dan begitu pula kita menyambutnya, seperti apa yang di ucapkan Thales "tidak ada manusia yang menang melawan takdir"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H