Lihat ke Halaman Asli

Untuk Ika Rahmawati

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini aku persembahkan buat seorang gadis kecil yang bernama Ika Rahmawati. Ika demikian nama panggilannya lahir pada tanggal 4 Maret 2003.

Ika si gadis kecil mungil ini terpaksa harus kehilangan ayahnya karena kecelakaan lalu lintas. Ayahnya adalah rekan kerjaku di kantor selama 14 tahun.Parno demikian aku dan rekan-rekan lain memanggilnya.Semoga tulisan ini kelak bisa dibaca oleh Ika dan tidak melupakan ayahnya.

Awalnya Parno  bekerja  sebagai Office Boy (OB) di kantor kami, waktu itu dia masih sangat muda. Jadi maklumlah kalau kadang-kadang bandel.Tetapi aku tidak putus asa untuk menempanya supaya dia berhasil. Aku mengajari dia mulai menabung untuk merancang masa depannya dengan mengambil contoh rekan kerja lain yang benar-benar merencanakan segala sesuatunya . Aku mengajari bahwa dia harus membuka mata dan telinga untuk melihat dunia luar supaya dia bisa pintar. Masak mau menjadi OB sepanjang masa.

Ada 3 peristiwa yang tidak bisa aku lupakan. Kejadian pertama dia pernah membentak aku ketika aku menasehatinya. Tetapi aku dengan kalem mengatakan bahwa jangan membentak aku. Akhirnya dia sadar dan meminta-minta maaf. Kejadian kedua adalah dia pergi memakai motor kantor pada saat jam kerja tanpa pamit. Mungkin karena aku sudah menganggap seperti saudara..aku saat itu ribut mencari keberadaannya sehingga rekan-rekan meledek bahwa aku mencari anak masku. Tidak lama aku mendapat telepon dari RS Pertamina yang mengabarkan dia mengalami kecelakaan lalulintas. Untung tidak parah. Kejadian ketiga adalah beberapa tahun setelah peristiwa kecelakaan itu. Lagi-lagi masih belum kapok, dia memakai motor kantor lagi tanpa ijin. Dia mau pergi mengikuti ujian SMA (aku menyarankan supaya dia sekolah lagi). Waktu itu dia sudah dipercaya menjaga kantor. Kecelakaan kali ini kedua kakinya patah ! Aku ingat benar sewaktu aku menjenguknya aku memberi dia 2 jempol tanda kehebatannya. Aku sudah capek menasehati dia supaya kalau naik motor hati-hati. Semenjak itu dia benar-benar berubah dia mengatakan bahwa dia kapok. Dia tidak bisa bekerja selama 3 bulan. Sejak itu dia memang berubah. Apalagi setelah dia menikah dan mempunyai seorang puteri.

Lama kelamaan pekerjaan utamanya sebagai OB mulai dialihkan karena manajemen sudah mempekerjakan orang lain dan dia diangkat menjadi bagian pemeliharaan sekaligus kepala dari para OB. Rupanya dia tetap saja hiperaktif. Kalau malam teman-temannya sudah pulang dia masih sibuk mengutak ngatik, membereskan kantor dan kadang-kadang menyapu halaman kantor padahal itu bukan tugasnya lagi. 

Parno selama aku mengenalnya, tidak pernah mengatakan TIDAK walaupun sebenarnya dia sudah capek.Dia selalu ringan tangan membantu orang dan tidak pernah beristirahat. Jangankan urusan berhubungan kantor, akupun  paling sering juga dibantunya berhubung rumahku dekat kantor begitu juga rekan-rekan yang lain. Mulai dari kran air longgar, pompa air yang ngadat,saluran telepon ngadat, saluran air mampet... pokoknya dia serba bisa. Kamipun di rumah menjulukinya Mac Gyver. Semenjak itu aku yang capek melihat dia yang bekerja dan mencari kesibukan tanpa henti. Capek menasehatinya supaya beristirahat dan menjaga kesehatan.

Dulu dia masih tinggal di dekat kantor. Tetapi mulai pertengahan tahun 2009dia beserta istri dan Ika pindah ke Parung karena dia sudah membangun rumah di atas sebidang tanah yang dibeli tanpa surat kepemilikan seperti sertifikat. Ini pula yang membuat aku ngomel panjang lebar tetapi kali ini dia tidak bisa dinasehati apalagi katanya di sana memang begitu kalau beli tanah tanda bukti kepemilikan cukup dengan selembar kwitansi. Alamakkk.

Karena sudah bertempat tinggal jauh aku juga sudah semakin cerewet menasehatinya supaya jangan pulang terlalu malam. Tetapi dia seperti mengejar setoran karena memang uang untuk membeli tanah tersebut dia meminjam uang dari kantor dengan cicilan yang dia tentuin sendiri dan jumlahnya cukup besar. Aku sudah keberatan karena aku tahu benar berapa penghasilannya tetapi dia ngotot. Dia mengatakan kapan lagi dia bisa punya rumah sendiri. Dia bilang sanggup hidup benar-benar hemat  dan biar hutangnya cepat habis.

Tanggal 9 Mei 2010 sekitar pukul 7 malam dia dan istrinya mengalami kecelakaan tabrak lari di daerah Parung. Dia mengendarai motor Honda kesayangannya (Motor yang mempunyai tape dan kadang kalau dia mengendarai motor tersebut lagu-lagupun berkumandang...dari lagu berirama dangdut, disko hingga jazz). Menurut cerita istrinya tidak seorangpun yang mau berhenti menolong mereka. Pada saat kejadian Parno langsung tidak sadarkan diri. Bayangkan 2 RS sebelumnya  menolak dengan alasan tidak ada tempat dan perlengkapan tidak memadai hingga akhirnya dibawa ke RS pemerintah yang besar di kota Bogor. Di sana setelah diambil tindakan pertolongan pertama ternyata tidak bisa ada tindakan lebih lanjut karena kata pihak RS tidak ada tempat di ICU. Istrinya disodorin daftar RS untuk mencari ICU yang kosong. Tidak bisa kebayang... disuruh mencari RS bukannya dibantu mencarikan !! Waktu itu sudah datang rekan kerja yang juga merupakan tetangga Parno untuk membantu istri Parno. Dari rekan itulah kami mendapat informasi perkembangan keadaan Parno.  Walaupun pihak keluarga menyatakan sanggup membayar (pihak kantor sudah menyatakan siap menanggung semua biayanya) tetapi katanya bukan soal uang karena  memang tidak ada tempat (moga-moga pihak RS tersebut tidak berbohong).

Akhirnya ada sebuah RS lebih kecil yang bersedia menerima tetapi dengan syarat Parno harus di CT Scan dulu sebelum dipindahkan. CT Scan dilakukan pada pukul 00.48 tanggal 10 Mei 2010. Sebenarnya aku bingung juga kenapa Parno tidak langsung di CT Scan untuk melihat seberapa parah perdarahan yang dialami. Tetapi aku tidak bisa protes karena aku di Jakarta dan tidak ada yang bisa mengantarku ke Bogor.

Ketika sudah dipindahkan ke RS lain, aku sempat berbicara dengan dokter jaga dan pak dokter menerangkan lewat telepon bahwa kondisinya parah dan harus dikonsul pada dokter spesialis bedah saraf. Aku langsung mengatakan supaya segera dilakukan dan  pihak kantor bersedia menanggung semua biaya perawatan.Aku malah menyebut bahwa ini CITO KONSUL ya dok dan pak dokter jaga mengiyakan. (Istilah cito konsul aku sering dengar kalau kebetulan aku pulang ke kota kelahiranku dan adikku yang dokter mendapat panggilan dari RS. Pernah jam 2 pagi adik perempuanku harus segera ke rumah sakit. Waktu aku tanya apa tidak bisa instruksi lewat telepon, adikku mengatakan bahwa itu Cito Konsul, yang artinya Konsul harus segera dijawab dan dokter harus sesegera mungkin ke RS).

Akupun lega  tetapi tidak lama. Aku mendapat kabar bahwa dokternya baru bisa datang jam 7 pagi. Waktu itu sekitar pukul 2.30 dinihari. Aku sudah bisa mengira apa yang bakal terjadi. Parno tidak sadarkan diri karena perdarahan di kepala dari sejak kejadian pukul 7 malam tanggal 9 Mei 2010 dipindahkan dari satu RS ke RS lain.Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku cuma bisa berdoa supaya Tuhan memberikan jalan yang baik bagi Parno. Aku sama sekali tidak bisa tidur dan rekan-rekan lain yang sudah berhasil dikontak juga pada tidak bisa tidur.

Tanggal 10 Mei 2010 sebelum pukul 7 pagi aku sudah ke kantor dan di sana sudah ada beberapa rekan yang berkumpul dan kami berdoa bersama setelah itu aku mentransfer Rp 10,000,000 ke rekening rekan kerja lain yang membantu keluarga Parno mengurus di RS. Katanya untuk uang muka biaya operasi.Tetapi itu semua tidak ada gunanya.Tuhan berkehendak lain. Parnopun pergi sebelum dilakukan operasi dan dalam keadaan tidak pernah sadarkan diri. Pergi tanpa meninggalkan pesan.  Seandainya kepala Parno cepat dioperasi untuk mengeluarkan darah yang tergenang.... seandainya kami bisa pergi ke Bogor waktu itu... seandainya... seandainya... tetapi itu hanya seandainya.. seandainya dan seandainya. 

Dia pergi sekitar pukul 7 pagi… yaaa 12 jam setelah kejadian. Kami semua merasa sangat sedih. Aku pun menghibur diri bahwa itu tandanya Tuhan sangat sayang sangat Parno karena Tuhan tahu Parno sudah sangat capek.Tugasnya di dunia sudah selesai. Moga-moga kami teman-temannya bisa membantu mewujudkan cita-cita Parno melihat Ika Rahmawati menjadi seorang sarjana. Parno sangat bangga akan putrinya. Ika selalu dibanggakan karena selalu menjadi juara kelas.Bagiku Parno adalah sosok pahlawan bagi kami dan bagi keluarganya. Semuanya pasti beres kalau ada Parno. Dan Parno tidak pernah membuat orang lain susah. Aku yakin dalam beberapa tahun ke depanpun kami mungkin tidak akan mendapatkan teman seperti dia. 

Dengan kematiannya pun dia tidak membawa kesusahan. Dia pergi dengan cepat tanpa meninggalkan beban. Justru dia meninggalkan rumah mungil walaupun surat tanahnyabelum ada (yang buat aku terbelalak… kwitansi pembelian tanah tersebut  tanggal 10 Mei 2009 dan Parno meninggal 10 Mei 2010) dan sejumlah tabungan. Dengan kematiannya pula dia sudah membagikan rejeki nomplok pada sekelompok oknum yang katanya membantu keluarga yang ditinggalkan untuk pengurusan asuransi …tidak tanggung-tanggung dari santunan kematian Rp 25 Juta … istri Parno harus rela berbagi sejumlah uang dan diterima tunai sebesar Rp 10,000,000.- begitu santunan telah cair di bank.

Untuk Ika Rahmawati, kamu patut bangga akan ayahmu. Semoga cita-cita ayahmu bisa terwujud. Kamu bisa menjadi seorang sarjana. Beberapa hasil karya ayahmu tampak pada foto di antaranya ‘Apollo’ (yaitu tabung pembawa dokumen sehingga kami di kantor tidak repot naik turun tangga , hasil gambar ayahmu ketika ikut lomba 17an tahun 2008. 

Suparno alias Parno meninggal dunia dalam usia mendekati 33 tahun dan dimakamkan di tanah kelahirannya di Jogjakarta.

Ika, tanggal 17 Agustus 2010 adalah hari ke 100kepergian ayahmu, sahabat, rekan, saudara kami.

“Beristitahatlah dengan tenang. Tugasmu sudah selesai, No.Terima kasih atas segalanya”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline