Limbah sisa makanan bergizi gratis (MBG), bukan lagi ancaman, melainkan aset berharga untuk masa depan yang lebih hijau.
Limbah makanan sering kali dianggap sebagai produk akhir yang tidak memiliki nilai tambah.
Namun, di era yang semakin sadar akan keberlanjutan lingkungan, pandangan ini telah bergeser.
Limbah makanan kini dipandang sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan perubahan positif, khususnya dalam mendukung masa depan yang lebih hijau.
Salah satu sumber limbah makanan yang signifikan di Indonesia adalah dari program Makanan Bergizi Gratis (MBG), yang meskipun bertujuan mulia untuk mendukung gizi anak-anak, memiliki dampak lingkungan yang tidak dapat diabaikan.
Namun, dengan pendekatan yang tepat, limbah MBG dapat diubah dari ancaman menjadi aset berharga.
Dampak Lingkungan dari Limbah MBG
Program MBG adalah inisiatif penting untuk meningkatkan status gizi siswa di sekolah.
Namun, dengan rata-rata sisa makanan sebesar 25 hingga 50 gram per siswa, jumlah limbah yang dihasilkan mencapai angka yang signifikan, yaitu antara 425 ton hingga 850 ton per hari.
Data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa dari total 70 juta ton sampah nasional, sekitar 39% atau 27,3 juta ton adalah limbah makanan.
Limbah ini tidak hanya membebani tempat pembuangan akhir (TPA) tetapi juga berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca.