Komersialisasi makam selain melanggar aturan juga dianggap tidak berperikemanusiaan. Praktik seperti itu banyak terjadi di lapangan, di mana terdapat diskriminasi antara pemakaman orang kaya dan orang miskin sehingga tempat kaplingnya berbeda.
Sudah menjadi fenomena umum komersialisasi kapling makam, di lapangan sering ditemukan jika yang meninggal orang kaya bisa pesan kapling yang letaknya nyaman.
Sedangkan jika yang meninggal warga biasa apalagi miskin mendapat letak kapling yang tidak sebaik kapling orang kaya yang meninggal atau terserah di mana kaplingannya.
Mestinya praktik seperti ini harus disudahi karena perkembangan zaman menyebabkan lahan makam kian berkurang. Menyoroti tentang mulai berkurangnya lahan makam sebanding dengan jumlah penduduk.
Permasalahan lahan makam menjadi fenomena yang cukup kompleks di beberapa daerah di Indonesia. Tidak jarang terjadi kasus di mana keluarga kesulitan mencari lahan makam yang cocok dan terjangkau, terutama di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi.
Beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam masalah ini adalah:
1. Harga yang Mahal: Lahan makam seringkali memiliki harga yang sangat mahal, terutama jika lokasinya berada di daerah perkotaan atau padat penduduk. Hal ini membuat biaya pemakaman menjadi semakin tinggi dan menyulitkan keluarga yang berduka.
2. Lokasi yang Jauh: Lahan makam sering dikembangkan di lokasi yang jauh dari pusat kota, seperti di luar kota atau di pedesaan. Kendala ini menjadi masalah bagi keluarga yang tidak memiliki kendaraan pribadi dan sulit untuk mencapainya.
3. Sulitnya Biaya dan Birokrasi: Proses perizinan dan pengakuan lahan makam oleh pemerintah seringkali sulit dan rumit. Hal ini dapat menyebabkan kebingungan dan menambah beban biaya tambahan bagi keluarga.