Sungguh sangat prihatin, kami yang ada di perantauan mendengar dan membaca berita tentang munculnya kembali klitih di Yogyakarta bahkan sampai menelan korban jiwa pada seorang Daffa Adziin Albasit (18) siswa SMA Muhammadiyah II Yogyakarta, anak seorang anggota DPRD Kebumen yang sedang mencari makan untuk sahur bersama teman-temannya.
Istilah klitih yang dulu bermakna positif yaitu berarti berjalan-jalan atau klitah-klitih atau makan angin untuk menghabiskan waktu, saat ini telah bergeser artinya menjadi bermakna negatif yaitu tindak kejahatan, krimanl, premanisme bahkan ada yang mengartikan klitih sebagai keliling golek getih, berkeliling untuk menumpahkan darah orang alias mencelaki orang lain.
Di setiap kejadian klitih selalu melibatkan para remaja sebagai pelakungya. Kalau dilihat dari kejadian dan korbannya yang bertjatuhan karena luka akibat senjata tajam bahkan sampai meninggal duni, harusnya kita semua sepakat bahwa klitih dalam arti negatif ini adalah sudh termasuk pada tindak pidana kejahatan atau kriminal, bukan lagi kenakalan remaja lagi.
Oleh karena ini adalah tindak pidana kriminal, sudah seharusnya penanganannya juga menggunakan pendekatan kriminal yaitu menggunakan undanag-undang hukum pidana, bukan lagi sekedar tindakan konseling dengan pertimbangan bahwa pelaku adalah masih anak remaja.
Marilah kita mencoba berpikir berimbang. Korbannya juga anak muda, yang luka parah bahkan sampai meninggal, apakah para korban ini bisa ditolong hanya sekedar dengan konseling? Tentu saja tidak. Korban sudah terlanjur luka parah dan bahkan yang meninggal sudah tidak dapat ditolong sama sekali, lalu mengapa kita masih berargumen dan berdebat panjanag lebar dengan kedok ilmiah dengan hanya memberikan konseling kepada pelaku atau paling berat memberikan hukuman untuk bekerja sosial. Rasanya ini sungguh sangat tidak berimbang dan tidak adil.
Coba sekali lagi tengok korbannya, tengok orang tuanya, coba ikut rasakan derita mereka melihat anak-anaknya yang jauh-jauh di sekolahkan di kota pelajar Yogyakarta namun ternyata hanya akan menjadi korban kejahatan premanisme.
Kita semua paham bahwa para remaja sebagai pelakunya adalah masih dalam masa pubertas yang mencari jati diri sehingga sangat mempengaruhi kehidupan psikologisnya. Kita juga maklum bahwa seringkali para remaja mengalami krisis identitas serta memiliki kontrol diri yang lemah.
Kita juga sependapat kalau tindak kejahatan para remaja ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarganya, lingkungan sekolahnya dan lingkungna masyarakat sekitarnya.
Lalu kalau sudah begini apakah menjadi tidak boleh kita mengenakan sanksi kepada para pelaku kklitih? Jangan karena faktor usia para kornban yang masih remaja lalu digolongkan sebagai anak-anak lalu hanya disebut sebagai kenakalan remaja, sementara korbannya sudah bergelimpangan.