Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Kota Palu di Panggung Politik

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Jamrin Abubaakar

MINIMNYA minat perempuan dalam suksesi Walikota Palu, bukan berarti kaum perempuan tidak melek politik. Cuma saja untuk memperebutkan satu atau dua kursi kepemimpinan dari kalangan kaum perempuan masih bernyali kecil.

Mereka lebih cenderung masuk dalam pertarungan legislatif ketimbang di eksekutif. Itu dapat dilihat dari dua kali Pilkada Kota Palu, minat tokoh perempuan menyatakan diri akan maju tidak terlihat rgairahnya, kecuali hanya seorang. Lain halnya ketika Pemilu legislatif 2004 dan 2009 lalu ada banyak perempuan ikut bertarung memperebutkan kekuasaan menuju kursi parlemen.

Di Sulteng kehadiran perempuan di parlemen bukanlah hal baru. Sejak tahun 1953 seorang tokoh perempuan bernama RM. Kairupan Malonda menjadi anggota DPRD Donggala (berkedudukan di Palu). Kemudian menyusul dua perempuan lainnya; Siti Amas Dg. Sute, Isah Yodjo dan Sitti Aminah Djanggola tahun 60-an.

Saat terbentuknya DPRD Kota Palu tahun 1994 hanya satu wakil perempuan. Kemudian tahun 1999 ada tiga perempuan. Dalam perkembangannya kehadiran perempuan mengalami penambahan terutama adanya sistem kompetisi pemilihan langsung. Kehadiran kaum perempuan di parlemen, setidaknya menjadi spirit dan inspirasi bagi kaum perempuan lain untuk terus berjuang sesuai kemampuan dan bidangnya masing-masing.

Dalam perkembangan politik di Sulawesi Tengah, tahun 1960-an sudah mulai tampil beberapa tokoh perempuan duduk di parlemen, di antaranya Damayanti Talasa, kemudian era 70-an ada tokoh perempuan Kartini Pandan Yotolembah dan Zulfikar Soenoko Abdullah. Lalu di era 1980-an hingga 1990-an di tingkat Nasional tampil Syamsiar Lasahido sebagai anggota DPR/MPR RI. Istri mantan gubernur Galib Lasahido itu menjadi perempuan Sulteng yang berkiprah dalam kancah politik Nasional dengan berbagai aktivitas sosial. Baru tahun 1999 lalu menyusul Sitti Fauziah Abdullah (PDIP) dan Dra. Yetje Lanasi (Partai Golkar), keduanya menjadi anggota DPR RI. Hasil pemilu 2009 lalu dua tokoh perempuan mewakili Sulteng di pusat, seorang lewat jalur parpol dan satunya anggota DPD.

Beberapa nama tokoh perempuan yang pernah terjun di politik baik di Kota Palu maupun di tingkat nasional yang penulis sebutkan di atas, sekedar menukil kembali eksistensi semangat perjuangan perempuan di daerah ini. Sekiranya mereka menjadi spirit dan sumber inspirasi di zaman demokratis ini untuk bertarung dalam kanca politik tidak sekedar di legislatif, tapi juga di eksekutif. Terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Palu 2010. Kenyataan tidak demikian, kehadiran perempuan bernyali besar hanya seorang saja. Dimana kah kaum perempuan itu? Dan akankah perempuan mendukung perempuan untuk membawa aspirasinya dan menjadi pemimpinnya? Sebuah pertanyaan gugatan yang sekiranya dapat dijawab dengan "hati" nurani.

Jelang Pilkada Kota Palu taun 2010, hanya Habsa Yanti Ponulele (HATI) satu-satunya tokoh perempuan yang menyatakan diri maju sebagai calon walikota. Ini merupakan langkah berani sekaligus kebanggan karena seorang perempuan yang kadang masih dianggap berkemampuan kecil, ternyata HATI bernyali besar di saat ada banyak perempuan lain yang memiliki peluang, karena telah memiliki pengalaman baik yang berada di eksekutif maupun di legislatif, tapi tidak berani maju dalam pertarungan Pilkada.

Dalam catatan penulis, dalam sepuluh tahun terakhir ini, baru dua perempuan di Palu berani ikut bertarung menjadi pemimpin (Walikota) Kota Palu. Pertama, Dewi Cahyawati Abdullah yang pernah mencalonkan diri sebagai calon wakil walikota Palu tahun 2000 di saat sistem pemilihan masih dilakukan anggota DPRD. Kedua Habsa yanti Ponulele yang baru akan mencalonkan diri.

Dewi C Abdullah waktu itu diusung partai koalisi walau kalah dalam perebutan kursi walikota dengan naiknya pasangan Baso Lamakarate-Suardin Suebo. Setidaknya sejarah telah mencatat seorang Dewi bertubuh kecil namun bernyali besar memperebutkan kursi kepemimpinan Kota Palu waktu itu. Walau "gagal", telah menjadi catatan sekaligus inspirasi bagi perempuan lainya.

Apalagi sejak lima tahun terakhir ini, sistem pemilihan langsung oleh rakyat dalam memilih pemimpin, semakin membuka peluang siapa saja dapat bertarung jadi pemimpin (kota). Tentunya memiliki kapasitas dan kapabilitas, dan untuk perempuan di Kota Palu saat ini tidak kalah kekuatan prestasi dan kualitasnya dari segala aspek. Tetapi kenyataannya, di antara ratusan ribu perempuan di Kota Palu hanya seorang HATI yang berani bertarung dengan rivalnya semua laki-laki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline