Lihat ke Halaman Asli

Dewan Kesenian dalam Badai Sorotan

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Jamrin Abubakar

PENGURUS Dewan Kesenian Palu (DKP) periode 2010-2013 akhirnya terbentuk dan melaksanakan rapat kerja, Minggu 31 Januari 2010. Selain perkenalan antarpengurus, juga mengagendakan persiapan pelantikan. Dua minggu sebelumnyaberlangsungworkshop untuk menampung sejumlah gagasan yang dilontarkan sejumlah seniman, aktivis? danpeminat seni. Termasukmasih diungkapnya kecaman dan kritik terhadap kebijakan Revi Arifin Passau selakuKetua DKP lalu yang dianggap kurang akomodatif.

Tapi begitulah, kadang memang ada orang selalu “merasapintar” mengkritik dan bicara hebat dan membanggakan dirinya sebagai seniman dan melihat orang lain gagal memimpin suatu lembaga. Menganggapkepengurusan DKP masa lalugagal, yang ironisnya mereka para pengritik itu punpatut dipertanyakan mana karya-karya monumentalnya? Apakah bisa lebih hebat ketimbang yang dikritik?

Harusnyakepengurusan DKP lalu dijadikan pelajaran bersama sekaligus pijakan ke depan yang harus lebih baik, karena ada setumpuk program dan harapan senimanmenunggu untuk dilaksanakan sebagaimana yangdibeberkan sejumlah aktivis senisaatworkshoplalu. Kitaberharaplebih baik ke depan,terutama merekayang selalu piawai dalam menilai, jangan sampai cuma melihat semut di seberang sungai, tapigajah di pelupuk mata tidak dirasakan.

Mungkin periode inilah menjadimomen yang tepat bagi Nirwan Sahiri seorangakademis yang bergelar doktor untuk membuktikan janji-janjinya saat musyawarah DKP pada 9 Januari lalu. Di antara janjinya akan menjadikan dewan kesenian sebagai wadah untuk semua (seniman) tanpa ada perbedaan, memposisikan dewan kesenian sebagai lembaga yang kuat sebagai mitra sejajar pemerintah, menciptakan kemajuan kesenian di Kota Palu sejajar dengan kota-kota lainnya.

Urusan dewan kesenian terlihat kecil dariluar, namunjadi urusan besar kalau orang masuk di dalamnya yang selalu adabadai sorotan secara internal dan eksternal. Entahlah kalau nahkoda Nirwan Sahiryang mengarungisamudra mendatangtidak menemui badai dalam pelayaran. Semoga tidak, menyusul dirangkulnyaorang-orang yang selama ini “hebat” dalam berteriak di luar memprotes kebijakan-kebijakanpengurus dewan kesenian yang lalu, namun belum teruji integritas dan kredibilitasnya.

Di snilah kita mau lihat kinerjanya lebih baik ketimbang yang lalu, sebab saat ini ada setumpuk tugas harus dibuktikan bahwa bekerja tidak mesti dengan cara “ribut-ribut” mengritik. Tidakperlupula memuji-muji diri sendiri sebagai seniman yang berjasa melakukan pembinaan seniman lain yang “termarjinalkan.” Biarlah masyarakat yang mengetahui. Waktulah yang akan mengujinya, seorang seniman sejati tidak perlu pamrih dengan menyatakan telah tampil di berbagai komunitasmasyarakat dengan melakukan pemibinaan ini dan itu.

SETELAH DKP, GILIRANDKST

Sebetulnya DKP sejak lama menjadi salah satu pusat sorotan banyak kalangan. Bukan saja kalangan seniman, tetapi juga mereka yang tiba-tiba merasa menjadi seniman, atau hanya ikut-ikutan dengan aktivitas seni. Apalagi saat DKP diketuai politisi yang sangat riskan dengan persoalan publik, maka masalah pribadiselalu dilihat dari kacamata politikwalau berada dalam urusan kesenian.

Harapan seniman pada DKP sebetulnya juga menjadi harapan buat DKST, cuma saja di antara pengurus DKST dua periode terakhir bukanlah orang-orang yang berkutat atau bersentuhan dengan urusan politik, sehingga sepi dari badai sorotan. Namun demikian bukan berati DKST tidak menjadi “bidikan” sasaran kritik,beberapa waktu lalu sudah tersiar kabar setelah DKP melaksanakan musyawarah, maka muncul lagi pertanyaan, kapan giliran DKST?SebabberdasarkanMusyawarah Daerah (Musda)III tahun 2005 lalu,periode DKST tersebut pada kurun waktu2005-2008. Ituberati sudah lewat setahun lalu, sama lambatnya dengan DKP yang menggelar musyawarah setelah molor.

Secarahistoris membicarakanDKST tidak lepas dari eksistensi DKP. Begitu pula sebaliknya,keduanya bagai “anak” dan “induk,” walau secara administrasitidak struktural, namun perlu komunikasi danberkoordinasi. ApalagiforumMusyawarah pertamaDKP yangdilaksanakan pada 20 April 1997 itulah yang kemudianmelahirkan DKST sebagai tindaklanjut JuklakInmendagri tahun 1995 (dalam perkembangannya Imendagri tidak lagi jadi acuan).Musyawara tersebut memberikan rekomendasi kepada pengurus DKST periode 1997-2002 untuk memprakarsai, mempersiapkan dan membentuk dewan kesenian kabupaten/kota di Sulteng.

Dengan sendirinya keberadaan DKP sebagai emriomelahirkan DKST akan dibentuk tersendiri bersama Dewan Kesenian di setiap kabupaten. Penugasan inimenjadi bagian kerja pengurus baru untuk kehadiran Dewan Kesenian Poso, Dewan Kesenian Donggala, Dewan Kesenian Tolitoli, Dewan Kesenian Banggai dan Dewan Kesenian Palu dan lainnya.

Musyawara pertama DKP waktu itu ada banyak harapan dan semangat baru dengan impian ada peluang pengembangan kesenian di daearah ini makin terbuka, terutama adanya kebijakan dari Pemda Sulteng. Apalagi pembangunan seni budaya sebagai bagian ketahanan nasional dewasa iniSulteng telah memasuki fase dinamika,terjadi percepatan yang cukup mengembirakan. Berupaitensitas pertunjukan dan maraknya pertumbuhan organisasi seni, khususnya di Kota Palu.

Ketika itu Musyawarah pertama DKP dibuka Wakil Gubernur Sulteng, Haryono. Dalam sambutannnya menyatakankhazanah budaya Sulteng sampai saat ini (maksudnya ketika itu) belum terkelola maksimal, disebabkan minimnya sumber daya manusia dan fasilitas yang dimiliki terbatas. Karena itu proses pengembangan seni budaya tersebut antara lain dengan dibentuknya dewan kesenian berdasarkan SK Gubernur dan diperkuat Inmendagri, memberikan format institusional. Harapan Haryono, pengembangan kesenian harus diarahkan kepada yang berwawasan nasional, membina ketahanan budaya, menyebarkan dan menghidupkan kebudayaan nasional.

Nah bagaimana setelah sepuluh tahun lewat, apakah khazanah budaya kita belum terkelola? Dan apakah sumber daya manusia (seniman) yang minim? Ini merupakan pertanyaan lama sekaligus pertanyaan baru bagi pendatang baru saat ini yang akan dijawab bersama. Termasuk bagi mereka yangkini sudah menjadi pengurus Dewan Kesenian Palu harus membuktikan kerjanya yang hebat. Kalau dulunya hanya kecaman-kecaman karena berada di luar struktur dapat dimaklumi. Padahal kalau dipikir seorang seniman sejati harusnya waktu tidak menjadi pengurus lembaga itulah dapat melahirkan karya-karyabesar yang bisa abadi.

Ke depan sebaiknya jangan lagi ada yang hanyamengaku seniman ketika menjelang dan saat ada acara musyawarah dewan kesenian baru ramai-ramai bermunculan. Tapi setelah itu, entah kemana merekatidak terlihat? Baguslah kalau sedangberproses untuk melahirkan karya-karya besar. Atau memang tidak lagi menjadi seniman,menunggu kalauada acara musyawarahbaru kembali lagi jadi seniman?*

(Penulis adalah mantan Pengurus Dewan Kesenian Palu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline