Lihat ke Halaman Asli

Jamila Naflah

Universitas Andalas

Dari Ladang Ubi ke Ketahanan Pangan: Potensi Pangan Lokal untuk Indonesia yang Mandiri di Tengah Dominasi Nasi

Diperbarui: 3 November 2024   16:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kecil, saya menemani ibu ke ladang, terutama saat musim panen ubi. Hari itu, terik matahari menyengat, dan aroma tanah lembab terasa segar. Saya melihat petani menggali tanah, mencari ubi yang tersembunyi. Sesekali saya ikut mengotori tangan, dan terkadang hanya mengamati sambil berbaring di atas karung goni. Suara cangkul dan tawa ceria mereka menciptakan suasana yang hangat. Di antara tumpukan ubi yang baru dipanen, saya merasakan keterikatan dengan tanah dan hasil jerih payah para petani. Momen ini memicu pertanyaan dalam pikiran saya: mengapa menanam ubi ketika nasi menjadi makanan pokok di setiap rumah?

Indonesia memiliki beragam potensi pangan lokal yang kaya akan nilai gizi dan manfaat, tetapi sayangnya belum sepenuhnya dimanfaatkan. Berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan yang disampaikan oleh Puji Sumedi Hanggarawati yang fokus pada program Ekosistem Pertanian, dalam Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia 10 Oktober 2024 lalu Indonesia adalah negara kedua di dunia dalam hal keanekaragaman hayati. Dengan lebih dari 77 jenis sumber karbohidrat yang tercatat serta 5.529 jenis sumber daya hayati pangan, Indonesia sebenarnya memiliki kekuatan besar dalam menciptakan ketahanan pangan. Namun, ketergantungan yang begitu kuat pada beras menunjukkan bahwa banyak potensi pangan lokal yang masih belum optimal.

Kebutuhan Indonesia akan beras pada tahun 2024 mencapai 31,2 juta ton berdasarkan pragnosa neraca pangan nasional periode Januari hingga Desember 2024 yang telah disusun oleh Badan Pangan Nasioanl. Namun, produktivitas pangan di Indonesia mengalami keseragaman pangan, misalnya, seperti yang disampaikan oleh bapak Sjamsul Hadi sebagai direktur ketahanan pangan, bahwa pada saat ini beras dan gandum menjadi komoditas utama sebagai pangan pokok. Beras tetap menjadi nomor satu, sementara gandum telah menempati 28% karbohidrat Indonesia, lebih tinggi 2,6% semenjak tahun 2017. Terkait hal ini, beliau kembali menegaskan, “Indonesia (seharusnya) bisa kenyang tidak hanya dengan beras dan terigu.”

Paradigma dan haluan pangan semestinya berubah, sistem pangan harus bebasis pada keberagaman Nusantara, beragam sumber hayati dan budaya pangan. Keseragaman secara terus menurus akan meningkattkan ketergantungan pangan dan impor. Sumber daya ekonomi masyarakat juga akan ikut terdampak, belum lagi kualitas gizi anak dan kesehatan memburuk.

Dalam forum yang sama, mengacu pada data yang disampaikan oleh Bapak Jarot Indarto, SP, MT, MSc, Ph.D., selaku direktur pangan dan pertanian, kita mendapati kenyataan yang mencengangkan: “pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa kelompok pangan umbi-umbian, kacang-kacangan, dan buah-buahan masih berada di bawah standar ideal,” tutur beliau. Ini menjadi bukti betapa rendahnya tingkat konsumsi umbi-umbian, termasuk ubi, di masyarakat kita. Padahal, ubi kaya akan serat, vitamin, dan mineral yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan glukosa dalam ubi pun telah terurai menjadi fruktosa, menjadikannya pilihan yang lebih aman bagi penderita diabetes dibandingkan nasi putih yang mengandung kadar gula tinggi.

Ubi jalar menawarkan nilai gizi tinggi, kaya akan serat, vitamin A, dan antioksidan, menjadikannya pangan yang sehat dan bergizi bagi masyarakat. Konsumsi ubi juga dapat mengurangi ketergantungan pada bahan pokok impor seperti beras dan gandum yang memiliki jejak karbon tinggi. Mengonsumsi lebih banyak ubi berarti mendukung petani lokal sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan, sejalan dengan pepatah bijak yang berbunyi, “lebih baik makan apa yang tumbuh di tanah sendiri, karena itu adalah makanan jiwa.”

Di tengah isu ketahanan pangan global dan ancaman krisis iklim, perhatian terhadap pangan lokal seperti ubi jalar semakin relevan dan mendesak. Ubi jalar, bukan hanya sekadar bahan pangan bagi masyarakat setempat, melainkan simbol kekayaan dan keberlanjutan budaya lokal. Melalui lensa keberlanjutan, kita perlu melihat lebih dalam bagaimana tanaman sederhana ini dapat berperan dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan memberikan kontribusi nyata dalam menciptakan masa depan yang lebih hijau.

Seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi, "bumi menyediakan cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap orang, tetapi tidak untuk keserakahan setiap orang." Dalam konteks ini, ubi dapat dilihat sebagai pemberian alam yang penuh manfaat pangan lokal yang sederhana namun memiliki potensi besar dalam mewujudkan ketahanan pangan tanpa merusak keseimbangan lingkungan.

Dalam upaya mencapai SDGs, khususnya tujuan ke-2 tentang penghapusan kelaparan dan tujuan ke-13 tentang penanganan perubahan iklim, ubi jalar menonjol sebagai solusi yang sederhana namun efektif. Ubi ini adalah sumber pangan lokal yang mudah tumbuh di berbagai kondisi lahan dan memiliki toleransi tinggi terhadap cuaca ekstrem, menjadikannya tanaman yang sesuai di era perubahan iklim. Budidaya ubi yang hemat air dan rendah emisi turut mendukung upaya pengurangan jejak karbon, membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim sembari menjaga ketahanan pangan.

Ketahanan pangan di era perubahan iklim mengharuskan kita untuk berpikir ulang tentang sumber makanan kita. Tanaman ubi, yang mampu bertahan di tengah ketidakpastian iklim, adalah bukti nyata bahwa alam menyediakan solusi bagi kita jika kita tahu bagaimana menghargainya. Filosofi yang dipegang teguh oleh sebagian petani di Sumatera Barat, bahwa “hidup adalah keseimbangan antara memberi dan menerima,” sejalan dengan konsep keberlanjutan.

Memilih pangan lokal seperti ubi bukan hanya soal pilihan makanan, tetapi juga soal memaknai keberlanjutan sebagai filosofi hidup. Sebuah filosofi yang berakar dari kebijaksanaan nenek moyang, mengajarkan kita untuk hidup sesuai dengan siklus alam dan tidak mengambil lebih dari yang kita butuhkan. Sebagaimana Wendell Berry, seorang filsuf pertanian, pernah mengatakan, "makanan adalah hasil kerja sama antara alam dan manusia." Dengan memilih untuk makan apa yang tumbuh di tanah kita sendiri, kita menjaga kelestarian alam dan menghargai hasil kerja keras petani.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline