Di masa kepemimpinan KPK jilid II atau periode 2007-2011, setidaknya sudah 4 serial peristiwa yang menimpa urusan jumlah atau aturan tentang pemimpin KPK. Pertama sejak Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Nazarudin Syamsudin, di KPK terjadi kekosongan satu pimpinan, kemudian DPR mempermasalahkan dengan memutarbalikan penafsiran pasal 21 ayat 5 UU No.30 Tahun 2002 terkait kalimat pimpinan KPK yang harus bekerja secara kolektif kolegial dengan jumlah 5 orang, yang akhirnya berujung pada usulan agar KPK tidak boleh mengambil keputusan yang sifatnya strategis sampai komisioner berjumlah lengkap.
Kedua, timbulnya rekayasa penetapan tersangka dan penahanan Bibit-Chandra oleh Mabes Polri atas dugaan penyalahgunaan kewenangan dan dugaan suap tanpa disertai bukti, dilanjutkan oleh Presiden yang mengeluarkan Keppres No.74 P/2009 mengenai pemberhentian sementara dua pimpinan KPK Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, pimpinan KPK semakin menyusut jumlahnya, tersisa dua orang saja.
Tambal sulamnya, Presiden menerbitkan Keppres No.77 P/2009 mengenai pengangkatan pelaksana tugas (Plt) pemimpin KPK yang berdasar pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2002, diangkat tiga orang pelaksana tugas pimpinan KPK yaitu Ahmad Santosa, Waluyo dan Tumpak Hatorangan.
Ketiga,pada tanggal 2 November 2009, Presiden menerbitkan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto (selanjutnya disebut “Tim 8”). Bibit-Chandra dibebaskan dari tahanan, Mabes Polri mengeluarkan SP3- Surat Perintah Penangguhan Penahanan, disusul selasa 1 Desember 2009 Kejaksaan mengeluarkan SKPP-Surat Keterangan Penghentian Penuntutan, Nomor Tap 01/01.14/FD.1/ 12/2009 Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk atas nama tersangka Chandra M Hamzah dan SKPP Nomor Tap 02/01.14/FD.1/12/2009 untuk atas nama tersangka Bibit S Riyanto. Bibit-Chandra kembali menjabat pimpinan KPK dan Ahamad Santosa dan Waluyo lengser.
Keempat, pasca ditolaknya Perppu pergantian pimpinan KPK oleh DPR, Tumpak Hatorangan akhirnya diberhentikan dengan hormat melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33/P Tahun 2010, dan kembali pimpinan KPK berjumlah empat orang menjadi perdebatan, antara harus diisi segera dan tidak perlu diisi sampai masa jabatan periode ini selesai.
Kali ini DPR kembali hendak menambal sulam dengan mengisi kekosongan satu orang pimpinan KPK. Berbagai kepentingan muncul, istilah serang balik dan balik serang nampak kepermukaan. Serangan balik berharap ada pimpinan KPK yang baru dan bisa “dikendalikan” oleh sekawanan orang berkepentingan dalam pengusutan perkara korupsi. Dan yang balik serang berharap agar KPK bekerja terus tidak terpengaruh sedikitpun, agar independensi KPK tetap terjaga dan tidak ada pengaruh kekuasaan lain terhadap KPK.
Dukungan publik terhadap KPK terus mengalir deras, namun tidak dibarengi dengan dukungan kekuasaan legislatif sebagai penerima mandat publik, DPR dengan mengatasnamakan penafsiran undang-undang, terus menggoyang KPK yang akibatnya pada kemandekan kinerja KPK. Ketua Tim Perumus Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Andi Hamzah berpendapat lain, secara tegas mengatakan kepemimpinan yang sudah ada dengan empat wakil KPK secara bergantian merupakan pilihan yang paling logis. Jika DPR terus memaksakan adanya pengisian kekosongan pimpinan KPK, khawatir masyarakat semakin apatis, sebab publik melihat adanya kepentingan politik yang lebih besar daripada kepentingan upaya pemberantasan korupsi.
Persoalannya bukan pada perdebatan komposisi pimpinan dan undang-undang, yang jelas bagaimana upaya pemberantasan korupsi bisa jalan terus, tanpa terhambat oleh drama tersebut. Saat ini berbagai pihak lebih asik dengan mempermasalahkan KPK dari pada berbenah diri dan turut serta dalam pemberantasan korupsi.
Dari keempat peristiwa diatas setidaknya ada enam kebijakan yang datang dan ditolak dalam artilain kebijakan tambal sulam, dan akan bertambah lagi jika DPR tetap memaksakan pengsisian kekosongan pimpinan KPK. Tahapan panjang akan dihadapinya. Jika hal demikian menambah geliat upaya pemberantasan korupsi, maka tidak akan menjadi persoalan, namun apakah ada jaminan untuk itu?, jika tidak ada, lebih baik meneruskan keempat pimpinan tersisa sampai periodenya selesai tahun 2011.
Untuk mendapatkan calon pimpinan KPK yang sesuai pasal 29 UU 30 tahun 2002 yaitu “cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi dan memiliki reputasi baik”, memerlukan waktu yang tidak sedikit, jika dirunut paling tidak ada beberapa langkah yang membutuhkan waktu lama, pembentukan pansel, sosialisasi pendaftaran minat calon pimpinan KPK, seleksi tertulis, tes kesehatan, seleksi wawancara, profile assessment, seleksi di DPR, perumusan Keppres baru dengan prosedurnya, pelantikan, dan lainnya, paling tidak membutuhkan waktu kurang lebih 8 bulan sesuai dengan pengalaman pemilihan calon pimpinan KPK terdahulu.
Tambal sulam ini bak drama yang sungguh menarik untuk disimak, berharap serial selanjutnya dapat memicu upaya pemberantasan korupsi ke gerbang Indonesia yang bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H