Lihat ke Halaman Asli

Hanya Nuklir Alat Diplomasi Korea Utara, Trump dan Prabowo jadi Kunci Perdamaian?

Diperbarui: 16 September 2024   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korut unjuk rudal balistik dalam parade militernya. (KCNA via KNS/AFP)

Nuklir, rudal, kendaraan tempur, dan rezim diktator mungkin menjadi hal pertama yang terlintas saat mendengar Korea Utara. Namun, bagaimana jika itu satu-satunya kekuatan yang mereka miliki? Pertanyaan ini dapat mengubah pandangan negara-negara yang berkonflik dengan Korea Utara, terutama di tengah ketakutan global akan kiamat nuklir dan potensi Perang Dunia ke-3. Gejolak di Semenanjung Korea yang terus memanas menjadi "alarm" pengingat agar kita tidak meremehkan isu ini.

Korea Utara, yang dikenal sebagai "The Hermit Kingdom," telah lama mengisolasi diri dari dunia internasional untuk menghindari pengaruh Barat dan menyembunyikan berbagai masalah internal. Menurut peneliti di Vienna University of Economics and Business, sekitar 60 persen penduduknya, atau 15 juta orang, hidup dalam kemiskinan ekstrem pada 2020, tanpa akses memadai terhadap pangan, air bersih, dan layanan kesehatan. Namun, meskipun terbatas, Korea Utara tetap bertahan dengan mengandalkan propaganda dan kekuatan militer. Nuklir, selain menjadi senjata pertahanan, juga digunakan sebagai alat diplomasi yang memaksa negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk berunding.

Doktrin Songun dan Strategi Bertahan Korea Utara

Kim Jong Un, tengah melakukan sesi foto dengan rakyat yang merayakan Hari Pemuda pada Selasa, 31 Agustus 2021. (KCNA/KNS via AP)

Korea Utara mengadopsi doktrin "Songun," yang memprioritaskan kekuatan militer untuk menjaga keamanan negara dan melindungi rezim Kim (Frank, 2006). Setelah runtuhnya Uni Soviet di tahun 1990-an, Korea Utara menghadapi kesulitan ekonomi yang diperparah oleh sanksi internasional yang melarang ekspor-impor, termasuk teknologi nuklir. Meski demikian, Korea Utara berhasil beradaptasi dengan sanksi melalui metode ilegal seperti penyelundupan dan penggunaan kapal "hantu" yang didukung oleh Tiongkok (Berlinger, 2020; Sang-Hun, 2020).

Doktrin "Songun" ini semakin memperkuat isolasi Korea Utara dari komunitas internasional. Penekanan pada militer dan senjata nuklir sebagai alat utama pertahanan negara membuat Korea Utara dianggap sebagai ancaman oleh negara-negara tetangganya seperti Korea Selatan, dan Jepang. Akibatnya, Korea Utara menjadi semakin terisolasi dan tergantung pada taktik intimidasi militer untuk mempertahankan eksistensinya di panggung internasional. Di era sekarang, kebijakan ini juga memperkuat kedudukan Korea Utara sebagai negara dengan risiko tinggi, terutama dalam hal stabilitas kawasan Asia Timur.

Dalam menghadapi tekanan global, Korea Utara menerapkan strategi autarki melalui ideologi Juche yang mengandalkan sumber daya domestik, namun sering gagal memenuhi kebutuhan masyarakat, memperburuk kondisi ekonomi. Meskipun sanksi internasional dari PBB, Amerika Serikat, dan Uni Eropa semakin menekan ekonomi, Korea Utara tetap melanjutkan program nuklirnya. Seperti dijelaskan oleh Wendt (1999), rezim ini semakin mengandalkan senjata nuklir sebagai alat utama untuk bertahan dan menjaga kedaulatannya.


Diplomasi Nuklir Ala Korea Utara

Kim Jong Un berfoto bersama beberapa tentara Korut saat uji coba rudal Hwasong-17. (Dok. Kcna.kp) 

Dari banyaknya cara berdiplomasi, Korea Utara justru memilih cara berdiplomasi yang cukup kontroversial yakni dengan senjata nuklir. Sejak Kim Il-sung hingga Kim Jong-un, program nuklir Korea Utara selalu diposisikan sebagai jaminan keamanan utama bagi rezim dan alat tawar-menawar dalam negosiasi internasional. Dalam hal ini, diplomasi nuklir adalah salah satu senjata utama Korea Utara untuk mempertahankan kekuasaannya dan mengamankan bantuan ekonomi dari negara-negara lain.

Sejak pengembangan reaktor nuklir di Yongbyon pada 1980-an, Korea Utara konsisten menggunakan kemampuan nuklirnya untuk menarik perhatian internasional. Contoh utamanya adalah kesepakatan Agreed Framework pada 1994, ketika Korea Utara setuju menutup program nuklirnya dengan imbalan bantuan ekonomi. Namun, kesepakatan ini tidak bertahan lama, dan Korea Utara kembali melanjutkan pengembangan senjata nuklir secara diam-diam. Selain ancaman nuklir, Korea Utara juga sering menggunakan janji denuklirisasi sebagai bagian dari diplomasi mereka. Park (2012) menjelaskan bahwa janji-janji denuklirisasi Korea Utara sering kali hanya digunakan sebagai alat tawar-menawar untuk mendapatkan bantuan internasional, sementara pada saat yang sama mereka terus mengembangkan program nuklirnya.

Diplomasi nuklir Korea Utara adalah bentuk diplomasi koersif yang didasarkan pada ancaman langsung penggunaan kekuatan destruktif. Sebenarnya hal semacam ini merupakan alat yang cukup efektif dalam hubungan internasional, dimana negara-negara lain sering kali merasa dipaksa untuk merespons ancaman tersebut demi menjaga perdamaian dan stabilitas. Namun, seperti yang dicatat oleh Mller et al. (2013), pendekatan ini juga sangat berisiko. Penggunaan ancaman nuklir secara berulang dapat menyebabkan eskalasi yang tidak terkendali, di mana konflik bersenjata dapat meletus jika salah satu pihak merasa bahwa ancaman tersebut tidak lagi bisa dinegosiasikan.


Trump Presiden Unik yang Cinta Damai?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline