Lihat ke Halaman Asli

JAMES SEMUEL LUHUKAI

Pelajar/Mahasiswa

Apa Untungnya Penerapan Pajak Karbon Ditunda?

Diperbarui: 21 Desember 2024   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perubahan iklim menjadi salah satu isu global yang perlu penanganan serius saat ini. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengatasi isu global tersebut yang salah satunya melalui kebijakan fiskal yang inovatif. Salah satu kebijakan fiskal yang akan segera terealisasi adalah penerapan pajak karbon. Kebijakan ini mempunyai misi utama dalam menekan eksternalitas negatif dari hasil bahan bakar fosil dengan mengenakan beban finansial kepada para pelaku usaha yang menghasilkan emisi. 

Akan tetapi, kebijakan yang telah direncanakan berlaku sejak tahun 2022 ini menghadapi penolakan dari berbagai pihak terutama dari para pelaku usaha. Hal ini didasari karena kebijakan pajak karbon akan meningkatkan biaya produksi terutama bagi sektor yang bergantung pada bahan bakar fosil. Harga produk akan cenderung meningkat terutama di jangka pendek. Alhasil, daya saing produk industri juga dapat menurun baik di pasar domestik maupun internasional.

Di tahun 2021 lalu, ketika berita rencana penerapan karbon sedang naik-naiknya, para pelaku usaha dan asosiasi mengajukan penolakan dan meminta pajak karbon dihapuskan dari RUU KUP. Hal tersebut disampaikan langsung di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi XI DPR RI. Para pelaku usaha juga meminta kepada pemerintah untuk mempertimbangkan skema perdagangan karbon digunakan sebagai alternatif pengurangan karbon. Alasan terbesar yang mendasari penolakan dari para pelaku usaha dan asosiasi tersebut adalah karena kebijakan pajak karbon dapat mengancam daya saing industri dan kenaikan biaya produksi. Mereka juga mengeluhkan karena di tengah kondisi daya beli yang masyarakat yang rendah dan didukung dengan produk impor yang murah akan menggerus keberlanjutan industri di Indonesia. 

Pajak karbon merupakan salah satu kebijakan penting yang digagas oleh pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah emisi karbon dan mempercepat transisi menuju ekonomi hijau. Kebijakan ini sudah disahkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) oleh DPR RI. Namun, kebijakan yang direncanakan berlaku mulai April 2022 ini, diundur penerapannya hingga 2025. 

Lantas, keputusan pemerintah untuk menunda penerapan pajak karbon ini menimbulkan banyak pertanyaan, apakah karena faktor seperti kesiapan infrastruktur dan dampak dari penerapannya terhadap ekonomi? atau hanya dalih pemerintah, karena adanya penolakan dari beberapa pelaku usaha? berikut beberapa alasan yang logis dari penundaan pajak karbon

Faktor Utama Penundaan Pajak Karbon. 

Pertama, Ketergantungan Tinggi Indonesia pada Energi Fosil. Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas alam, sebagai penyumbang utama emisi karbon. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), Penggunaan bahan bakar fosil masih mendominasi konsumsi energi di sektor Industri di Indonesia, dengan batubara menyumbang lebih dari setengah permintaan pada tahun 2022.

Peralihan ke energi terbarukan pastinya memakan waktu dan juga membutuhkan investasi yang tidak sedikit jumlahnya. Pemerintah harus mengurangi ketergantungan ini tanpa mengganggu stabilitas pasokan energi nasional, yang pastinya bukan hal mudah untuk pemerintah. Sektor industri dan transportasi di Indonesia menjadi konsumen energi terbesar yang menunjukkan ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil yang masih tinggi.

Kedua, Adanya penolakan dari sektor perindustrian. Banyak sektor industri menilai pajak karbon akan menaikkan biaya produksi secara signifikan dan mengurangi daya saing produk mereka di pasar global. Industri padat energi, seperti manufaktur dan pengolahan bahan baku, menjadi kelompok yang paling menolak kebijakan ini, karena mereka khawatir kebijakan ini justru akan melemahkan kontribusi sektor mereka terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid, pengenaan pajak karbon akan mendorong kenaikan biaya produksi, memperlemah daya saing sektor industri yang akan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap kestabilan perekonomian Indonesia. Salah satu Industri Industri yang terdampak langsung adalah industri keramik. 

Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan penolakannya terhadap kebijakan pajak karbon karena penerapan menjadi ancaman langsung terhadap daya saing industri keramik. Ia juga meyakini akan adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon yang akan memberikan efek domino terhadap konsumen akhir dengan harga jual keramik yang lebih mahal. Jadi, adanya kenaikan biaya produksi akibat penerapan pajak karbon berpotensi mengganggu kestabilan ekonomi Indonesia, mengingat efek domino yang akan dirasakan hingga pada harga jual produk di tingkat konsumen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline