Dengan segenggam harapan, dari ilmu pengetahuan yang dimiliki, pewarta sejati berlari mengejar angan yang belum pasti.
Menyelusuri liku-liku hidup hanya dengan beralas keyakinan didalam hati, dengan harapan untuk dapat hidup layak dihari tua nanti.
Walaupun rasa resah dan gelisah berkecamuk didalam hati, karena yang dikonsumsi tidak sesuai dengan nilai gizi. Itulah hasil perjuangan diri.
Hal itu merupakan luapan emosi, sebagai pewarta sejati, terkadang membuat naskah, sambil makan nasi. Namun siapa yang akan perduli.
Voucher dan pulsa sebagai teman sejati, terkadang menghutang kesana kemari, agar dapat mengirimkan suatu naskah yang diproduksi.
Puisi ini dibuat oleh penulis, untuk mengingatkan para pengusaha penerbit, agar nasib penulis dapat bersandar kepada penerbit. Sebelum usaha penerbit berada ditepian jalan yang sempit.
Pendidikan pewarta, kini terkesan tidak dianggap oleh generasi muda sebagai tahta. Karena generasi muda saat ini cendurung mengejar uang dan harta.
Sementara pemerintah selalu memanfaatkan pewarta, tetapi berat untuk memberikan pulsa. Alasannya, karena dianggap melanggar titah. Lalu penulis mau makan apa...?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H