Lihat ke Halaman Asli

Pilkades Sketsa Demokrasi antara Budaya Pendidikan dan Budaya Jahil

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Belum lama ini masyarakat Bekasi baru saja melangsungkan pesta akbar dalam pentas demokrasi kelas kabupaten yang menghasilkan Bupati dan wakil Bupati terpilih Neneng hasanah yasin dan wakilnya Rohim Mintareja, dengan segala kelebihan dan kekurangannya proses itupun telah di lalui, walaupun tak dapat di pungkiri banyak catatan – catatan buram ataupun menjadi jelas karena di lihat secara rabun, namun toh akhirnya kita telah mempunyai pemimpin baru sekelas Bupati di wilayah kita tinggal dan hidup di Kabupaten Bekasi ini, Kabupaten Kaya materil mulai dari sayur mayur,gas dan minyak bumi maupun budaya, karakter yang khas, dan tak lupa limbah anyirnya.
harus di akui bahwa di quarter pertama tahun 2012 ini, untuk pertama kalinya Bekasi mempunyai Bupati perempuan dan pertama kali ini pula terjadi dalam wilayah nasional Bupati termuda yang lahir dari Bekasi, Putri asli Bekasi, dengan pemikiran Bekasi, dan mudah-mudahan menggunakan pendekatan keBekasian dalam menyelenggarakan pemerintahannya lima tahun ke depan.

Tongkat Estapet terus berlanjut seperti efek domino lagi-lagi sebagai lakonnya adalah masyarakat Bekasi namun lebih terperinci dan mendetail yaitu masyarakat Desa yang menjadi bagian masyarakat hukum di wilayah Kabupaten Bekasi, tapi judulnya tetap sama mencari Calon Pemimpin, yaitu Calon pemimpin Kepala Desa yang biasa di singkat KaDes.

Apa yang menjadi menarik dari kedua acara tersebut ? bukan saja melibatkan seluruh element masyarakat Bekasi dalam penyelenggaraannya tapi juga menjadi sokongan Politik Praktis yang mempertontonkan kolosal dalam kemasan manis ala Demokrasi yang di lakukan oleh masing-masing partai Politik yang mengusung jagonya, sudah tidak begitu jelas Koridor atau bunyi sirine batas antara kawan dan lawan, karena yang menjadi tujuan adalah kemenangan, nyaris sandiwara drama Politik pragmatis yang sadar atau tidak telah menyeret dalam ruang lingkup apa yang di sebut Oportunis, sebuah pemahaman yang sebenarnya sangat bertolak belakang dengan sendi-sendi Budaya di manapun pada belahan bumi Indonesia ini, bisa jadi sebuah pemahaman haram di lakukan karena menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan apalagi bagi masyarakat yang beragama.

Namun bagaimanakah Acara hajatan masyarakat Bekasi yang kedua ini ? menentukan kepala Desa atau mengajukan diri menjadi Kepala Desa memang tidak seperti menentukan Bupati, naungannya berbeda, payung hukumnya pun berbeda, apalagi Partai Politik pengusung, untuk menjadi pengurus partai politik pun seorang kepala desa di larang, lantas kemudian apakah cara-cara yang di lakukan oleh Partai politik untuk mengusung Calonnya tidak boleh di lakukan oleh Calon Kepala Desa ataupun Tim Suksesnya ? apakah kemudian Proses yang di lakukan sama dengan yang di lakukan pada saat menentukan Bupatinya ? apa dampak relevan atas proses ini bagi masyarakatnya ? ini yang kemudian menjadi menarik dan akan kita bahas dalam artikel ini.

Syarat untuk menjadi seorang Kepala Desa di wilayah pemerintahan Kabupaten Bekasi sudah jelas terpapar rapih dan legal dalam PerDa No.5 tahun 2006 pada Bab V pasal 10 dari huruf a sampai dengan huruf m, di antaranya sebagai persyaratan Formil dan Materiil,
jika boleh berandai seorang petani, tukang ojek, Cendekiawan, akademisi, pegawai negri maupun swasta, bahkan TNI/POLRI atau orang yang dengan latar belakang pendidikan dan wawasan rendah pun boleh mencalonkan dirinya untuk di pilih menjadi Kepala Desa jika merunut pada peraturan ini,

Namun jika anda orang miskin atau tidak mempunyai modal yang cukup jangan sekali-kali mencalonkan diri menjadi Kepala Desa, mengapa demikian?..

Money Politik ( Politik Duit) pada proses pemilihan yang terkandung dalam konsep Demokrasi adalah perbuatan naif dan sepakat menjadi perbuatan Ilegal bahkan di atur dalam bab tersendiri yang terkandung pada setiap peraturan pemilihan pemimpin dari tingkat Kepala Desa, Anggota DPR, Bupati bahkan Presiden,

Namun Cost Politik ( Biaya Politik) adalah suatu keharusan pada masa kekinian, entah dari mana masyarakat ini belajar, pada masa penjajahan Belanda pun untuk menjadi sorang Demang atau kepala di suatu Daerah tidak ada pelajaran atau contoh yang jelas dari Netherland indies kala itu yang namanya Cost Politik,

Cost Politik ini menjadi perwujudan baru, kasat oleh mata hukum dan licin pada timbangan penegakkannya. Dia menjelma menjadi pohon besar dengan ranting yang rimbun bijaksana, teduh berwibawa dengan buah yang hampir sama jika kita samakan dengan Money Politik, maka Cost Politik sama juga dengan Money Politic.

bagaimana tidak ?, Cost Politik ini atau sesuai pemahaman masyarakat bekasi yaitu ongkos Politik menjadi ejaan yang fasih kalamana sang Calon Pemimpin untuk menemui calon pemilihnya, dengan buah tangan yang ujung-ujungnya Duit alias money Politik. Akan tetapi tetap rapih dan aman dari jeratan Hukum karena berbalut Sosial, kedermawanan, tolong menolong atau apapun namanya yang jika meminjam istilah saya Rimbun bijaksana dan teduh berwibawa. Gejala ini jelas nampak terjadi bagi siapapun yang akan mencalonkan diri menjadi apapun namanya termasuk Kepala Desa, mendadak rajin bersilaturahim, dermawan, mempunyai kepedualian yang mantap, dan lain sebagainya.

Jika hal demikian terjadi kecerdasan macam apa yang bisa membedakan mana Money Politik dan yang mana Cost Politik alias Ongkos Politik ?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline