Siapa tak kenal Rizieq Shihab – Ketua Umum Front Pembela Islam yang rajin menuai kontroversi?
Jelang tanggal 4 November kemarin, ia tuai lagi kontroversi baru. Sebuah dagelan untuk masyarakat Jakarta. Kali ini, wacananya adalah menjebloskan Ahok prihal kasus Al-Maidah 51. Tak puas ia ludahi jajaran pemerintahan sejak zaman SBY menjabat. Dulu, Presiden ia sebut pecundang, kini gubernur mau ia kudeta.
Serangkaian aksi yang diadakan Rizieq ini juga menjadi sumber teror bagi masyarakat Jakarta. Setelah aksi pertama (14/10) meninggalkan jejak berupa sampah dan kerusakan taman – juga teriakan-teriakan pedas ‘ayo bunuh Ahok’ yang tak pantas diucap oleh kelompok berkedok agama; aksi kedua memancing ketakutan lewat ‘advertensi’-nya via situs resmi FPI yang menyuruh peserta meninggalkan wasiat terlebih dahulu.
Kelompok-kelompok tertentu jadi tampak lebih superior. Kemauannya dipaksakan seperti harus didengar. Demonstrasi memang privillegenegara demokrasi tetapi kekerasan verbal – ataupun fisik – bukan bagian darinya.
Belum lagi impacttak langsung berupa kepentingan politik yang hinggap lewat nasi-nasi bungkus dan lembaran-lembaran rupiah. Akibatnya, muncul cekaman teror yang mengungkung masyarakat Jakarta selama dua minggu dari aksi pertama. Wacana dibelokkan. Tak lagi keadilan yang dicari. Nama Presiden dibawa-bawa. Usaha makar tercium oleh istana.
Masalah yang dibesar-besarkan berakibat fatal. Demo FPI berubah makna. Timbul asumsi pemanfaatan oleh oknum politik. Sesungguhnya, polemik makar dan kudeta ini tak akan pernah ada bila tak disulut oleh ‘Aksi Bela Islam II’ FPI. Aksi pemaksaan kehendak secara besar-besaran. Namun, nasi telah menjadi bubur. Malam datang bersama massa baru yang penuh amarah. Akibatnya, kerusuhan pecah tak lama setelah matahari tenggelam. Kelakuan Rizieq Shihab ini membuat Islam seakan-akan hanya alat bantu politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H