Saat membimbing para guru dalam Program Pendidikan Profesi Guru (PPG), kerap muncul pertanyaan yang menggantung di benak saya: sejauh mana program ini mampu menjawab persoalan mendasar kualitas pendidikan di Indonesia? PPG, sebagai salah satu ikhtiar pemerintah untuk meningkatkan profesionalitas guru, digadang-gadang sebagai solusi guna melahirkan tenaga pendidik yang kompeten. Namun, kenyataannya, apakah di lapangan menunjukkan bahwa program ini sudah sepenuhnya mampu menjembatani harapan dan realitas?
Potret Kualitas Guru: Masih Banyak yang Harus Diperbaiki
Tidak bisa dimungkiri, guru adalah ujung tombak keberhasilan pendidikan. Namun, berbagai survei dan penelitian menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih jauh dari ideal. Misalnya, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa rata-rata skor kompetensi guru berada di bawah standar yang ditetapkan.
Kondisi ini berbanding lurus dengan realitas di lapangan. Sering ditemukan guru yang masih kesulitan merancang perangkat pembelajaran yang inovatif, kurang memahami pendekatan pembelajaran berbasis teknologi, atau gagap menghadapi dinamika siswa generasi Z dan Alpha. Hal ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi cerminan sistem pendidikan yang belum optimal dalam menyiapkan dan mendukung guru.
PPG, di atas kertas, dirancang untuk menjawab kebutuhan akan guru yang tidak hanya menguasai materi pelajaran, tetapi juga memiliki kompetensi pedagogik dan profesional yang mumpuni. Selama mengikuti program ini, guru diajak untuk menggali strategi pembelajaran yang kreatif, memperkuat penguasaan teknologi, hingga membangun karakter sebagai pendidik.
Namun, meskipun harapan tersebut besar, dirasakan adanya kesenjangan antara idealisme yang diusung PPG dan realitas implementasinya. Tidak sedikit peserta PPG yang merasa terbebani oleh tuntutan administratif, sementara esensi pengembangan profesionalisme sering kali terabaikan. Selain itu, banyak guru yang mengikuti PPG lebih didorong oleh tuntutan formal untuk memperoleh sertifikat, bukan karena dorongan intrinsik untuk menjadi pendidik yang lebih baik.
Kritik terhadap Sistem dan Realitas di Lapangan
Kritik terhadap kualitas guru tidak semata-mata ditujukan kepada individu guru. Ada banyak faktor sistemik yang perlu dibenahi. Pertama, beban administratif yang terlalu besar sering kali menyita waktu dan energi guru, sehingga mereka tidak memiliki cukup ruang untuk fokus pada pengembangan pembelajaran.
Kedua, pemerataan pelatihan dan pengembangan kompetensi masih menjadi masalah. Guru di daerah terpencil sering kali tidak mendapatkan akses yang sama terhadap pelatihan berkualitas. Ketimpangan ini menciptakan jurang yang lebar antara kualitas guru di kota besar dan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Ketiga, program PPG sendiri perlu dievaluasi secara menyeluruh. Meski niatnya baik, beberapa aspek pelaksanaan program ini terasa kurang efektif. Misalnya, modul pembelajaran yang terlalu teoritis dan kurang aplikatif, atau minimnya pendampingan setelah guru kembali ke tempat tugas masing-masing.
Mengapa Kualitas Guru Adalah Kunci?