Aku tertegun di depan layar laptop. Minggu-minggu terakhir perkuliahan K2 LB telah berlalu begitu cepat, dan hari ini, tatap muka daring terakhir menunggu di penghujung senja. Seharusnya tak ada yang istimewa; kelas ini telah terbiasa dengan diskusi hangat, senyum yang tersembunyi di balik kamera mati, serta beberapa canda ringan sebelum pertemuan usai. Namun, sore ini, sesuatu yang tak pernah kuduga terjadi. Saidatun, mahasiswi yang dikenal kalem dan serius---nyaris tak pernah berbicara di luar konteks akademik---mendadak angkat suara.
Suasana hening. Hanya terdengar tarikan napas dari mikrofon-mikrofon yang menyala. Jemariku berhenti pada papan ketik, pandanganku lurus ke arah kotak kecil di sudut layar tempat Saidatun tampil. Dengan suara bergetar dan napas yang tertahan, ia berkata lirih, "Izinkan saya, Pak, membacakan sesuatu."
Aku tak menyiapkan apa pun untuk momen seperti ini. Sinar senja yang memantul dari jendela kamarku seakan menyorot ke arahnya, meski kami terpisah ratusan kilometer. Mahasiswa lain pun diam, seolah menunggu aba-aba. Namun yang datang bukan komando, melainkan puisi yang mengalir lembut dari bibir Saidatun:
"Dosenku, penuntun cahaya ilmu.
Dalam ruang yang sunyi penuh makna,
kau hadir dengan jiwa yang penuh cinta.
Setiap kata adalah jendela dunia,
pembuka jalan bagi kami meraih asa.
Di balik setiap tugas dan diskusi,
ada kabar yang tak pernah basi.
Kau ajarkan lebih dari sekadar teori,
kau bimbing kami memaknai arti diri.
Kini, saat perpisahan menjelang,
rasa berat melepas bayang.
Namun kami tahu, jejakmu abadi,
dalam ilmu yang kau beri setiap hari..."
Suara Saidatun makin bergetar di bait terakhir. Ada jeda, sejenak ia terdiam, mungkin menahan tangis. Aku pun hampir tak bisa bernapas. Mataku mulai kabur, terhalang butiran air yang terus mendesak ingin jatuh. Aku berusaha mengatur napas, tapi sulit. Pesona ketulusan dan keberanian Saidatun ini sungguh tak terduga.
Layar yang tadinya dipenuhi senyum kikuk atau tatapan bosan, kini hening. Bahkan bayangan wajah-wajah mahasiswa lain di kotak-kotak kecil layar pun seakan beku. Mereka seperti terpesona oleh untaian kata-kata yang sederhana namun sarat makna itu. Detik berikutnya, emoji sedih, menangis, dan terharu mulai bermunculan di kolom komentar. Beberapa mahasiswa menghidupkan mikrofon untuk mengucapkan satu dua kata: "Terima kasih, Saidatun..." atau "Kami juga merasakan hal yang sama..." Tapi kebanyakan hanya diam, membiarkan keharuan menyesap ke dalam hati masing-masing.
Aku sadar, tak mudah menyampaikan apresiasi. Suaraku sendiri parau saat mencoba berbicara, "Saidatun... terima kasih. Sungguh... saya tak menyangka..." Kata-kataku terputus, terhalang oleh rasa haru yang mengimpit dada. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan emosi yang membuncah. Entah darimana keberanian gadis pendiam itu muncul. Mungkin dari kasih sayang yang terbangun perlahan, dalam senyap, selama perkuliahan ini. Atau mungkin ada makna tersembunyi, rasa terima kasih yang tak terucap selama berminggu-minggu. Apa pun alasannya, puisi ini memeluk hatiku erat-erat, menyisakan kehangatan yang sulit diungkapkan.
Kelas daring menjadi hening lagi. Tapi ini bukan hening yang canggung. Ini hening yang penuh arti, seakan semua peserta sedang mencerna makna puisi tersebut di dalam hati masing-masing. Aku menatap layar, berusaha menembus batas teknologi. Di seberang sana, kulihat mata-mata yang berkaca-kaca, senyum lirih yang penuh rasa syukur, dan isyarat pengakuan bahwa pertemuan ini tak sekadar tentang materi kuliah. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kekal daripada rangkaian modul ajar yang telah kami selesaikan.
"Terima kasih, Saidatun," suaraku kembali terdengar pelan. "Terima kasih atas keberanianmu menyuarakan perasaan yang mungkin kita semua rasakan. Saya tak pernah menyangka keharuan ini akan datang. Kalian semua adalah inspirasi bagi saya. Kelas ini... meski hanya bertemu di ruang daring, kalian mengajarkan saya banyak hal. Tentang ketabahan, tentang kemauan belajar, tentang arti kebersamaan dalam keterbatasan."