Lihat ke Halaman Asli

Jamal Syarif

Peneliti dan pengajar

Perguruan Tinggi Inklusif: Harapan yang Masih Tertunda

Diperbarui: 3 Desember 2024   21:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hari Disabilitas Internasional yang kita peringati hari ini, 3 Desember, adalah momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang perjuangan kelompok disabilitas dalam mendapatkan hak-hak mereka, termasuk hak atas pendidikan. Sebagai seorang akademisi di perguruan tinggi, saya menyaksikan ironi besar yang sering kali luput dari perhatian: meskipun sekolah dan madrasah inklusi mulai bermunculan sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan kelompok disabilitas, akses mereka untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi masih sangat terbatas.

Statistik menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil lulusan SMA Luar Biasa (SMA-LB) yang mampu melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Bahkan, dari jumlah yang sedikit ini, sebagian besar menghadapi berbagai tantangan yang nyaris tak terlihat oleh masyarakat umum. Tantangan ini bukan hanya soal biaya atau kurangnya dukungan keluarga, tetapi juga minimnya aksesibilitas fisik dan non-fisik di perguruan tinggi. Pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama adalah: apakah perguruan tinggi kita benar-benar inklusif?

Keinginan Kuat, Akses yang Terbatas

Sebagai seorang pengajar, saya sering bertemu dengan individu disabilitas yang memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Mereka memahami bahwa gelar akademik adalah salah satu jalan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup mereka dan memperoleh kemandirian. Sayangnya, jalan menuju perguruan tinggi sering kali penuh rintangan.

Salah satu kendala terbesar adalah aksesibilitas. Fasilitas dasar seperti jalan masuk, ruang kelas, toilet, dan perpustakaan sering kali tidak dirancang untuk mendukung kebutuhan mahasiswa disabilitas. Sebagai contoh, mahasiswa dengan keterbatasan mobilitas sering kali kesulitan mengakses gedung perkuliahan yang tidak memiliki lift atau ramp. Demikian pula, mahasiswa tunanetra menghadapi tantangan besar karena kurangnya bahan ajar dalam format braille atau digital yang ramah akses.

Selain itu, hambatan non-fisik juga tidak kalah signifikan. Stigma sosial dan kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan disabilitas di lingkungan perguruan tinggi menciptakan tekanan psikologis yang besar bagi mereka. Banyak dari mereka merasa terisolasi secara sosial karena minimnya dukungan dari teman sebaya maupun dosen. Akibatnya, impian untuk mendapatkan pendidikan tinggi sering kali terpaksa dipendam dalam jurang yang dalam.

Perjuangan Kelompok Disabilitas untuk Pendidikan

Meskipun menghadapi banyak hambatan, kelompok disabilitas tidak pernah berhenti berjuang. Mereka memahami bahwa pendidikan adalah kunci untuk membuka peluang kerja yang lebih baik dan meningkatkan taraf hidup. Banyak dari mereka yang terus mencari cara untuk mengatasi hambatan ini, mulai dari mencari beasiswa hingga mengikuti program pelatihan yang dirancang khusus untuk disabilitas.

Namun, perjuangan ini tidak seharusnya menjadi tanggung jawab individu semata. Negara, masyarakat, dan perguruan tinggi memiliki kewajiban moral untuk mendukung perjuangan mereka. Dalam konteks ini, sangat penting bagi kita untuk melihat pendidikan sebagai hak asasi manusia yang harus diakses oleh semua orang, tanpa kecuali.

Harapan Akan Perguruan Tinggi Inklusif

Perguruan tinggi inklusif bukan hanya tentang menyediakan fasilitas fisik yang ramah disabilitas, tetapi juga menciptakan lingkungan belajar yang inklusif secara holistik. Hal ini mencakup: 1) Fasilitas Fisik yang Aksesibel. Perguruan tinggi harus memastikan bahwa semua fasilitas, mulai dari ruang kelas hingga perpustakaan, dapat diakses oleh mahasiswa disabilitas. Ini termasuk menyediakan ramp, lift, toilet yang ramah disabilitas, dan ruang kelas dengan desain universal; 2) Sumber Belajar yang Inklusif. Bahan ajar harus disediakan dalam berbagai format, seperti braille, audiobook, atau teks digital yang dapat diakses oleh pembaca layar. Teknologi dapat menjadi alat yang sangat membantu dalam menciptakan sumber belajar yang inklusif; 3) Dukungan Psikososial. Perguruan tinggi harus memiliki layanan konseling dan program pendampingan untuk mendukung mahasiswa disabilitas secara emosional dan sosial. Ini penting untuk membantu mereka merasa diterima dan termotivasi untuk terus belajar; 4) Pelatihan bagi Dosen dan Staf. Dosen dan staf perguruan tinggi perlu diberikan pelatihan tentang inklusivitas, agar mereka memahami cara terbaik untuk mendukung mahasiswa disabilitas. Pelatihan ini juga penting untuk menghilangkan stigma dan stereotip yang masih ada; 5) Kebijakan yang Mendukung. Pemerintah dan perguruan tinggi harus mengembangkan kebijakan yang mendorong partisipasi kelompok disabilitas dalam pendidikan tinggi. Ini termasuk memberikan beasiswa, kuota khusus, atau kemudahan administrasi bagi mahasiswa disabilitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline