Lihat ke Halaman Asli

Jamal Syarif

Peneliti dan pengajar

Merdeka Belajar di Lapangan, Antara Idealisme dan Realitas

Diperbarui: 2 Desember 2024   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seorang guru di sebuah sekolah di pelosok Indonesia menghadapi dilema besar saat mencoba menerapkan Kurikulum Merdeka. Ia harus menyesuaikan pembelajaran berbasis proyek dengan keterbatasan sumber daya sekolah, termasuk buku, perangkat digital, bahkan koneksi internet. 

Di sisi lain, seorang guru di kota besar menghadapi tantangan yang berbeda: siswa yang sudah terbiasa dengan perangkat teknologi justru kesulitan membangun kerja sama dalam kelompok atau memahami esensi nilai-nilai karakter. Fenomena ini menggambarkan realitas di lapangan, di mana Kurikulum Merdeka, meski penuh idealisme, menghadapi berbagai hambatan implementasi di berbagai konteks sosial.

Kurikulum Merdeka: Sebuah Idealisme Pendidikan

Kurikulum Merdeka diperkenalkan sebagai jawaban atas kebutuhan pendidikan yang lebih relevan dengan tantangan zaman. Konsep ini bertujuan memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk mengeksplorasi pembelajaran yang bermakna, mendorong pembelajaran berbasis proyek, serta menanamkan nilai-nilai karakter. Kurikulum ini mengutamakan pendekatan yang fleksibel, berorientasi pada siswa, dan memungkinkan sekolah untuk menyesuaikan dengan kondisi lokal.

Dalam teorinya, Kurikulum Merdeka menawarkan solusi atas berbagai kritik terhadap sistem pendidikan tradisional yang dianggap terlalu kaku dan berorientasi pada hasil akademik semata. 

Pembelajaran berbasis proyek, misalnya, bertujuan untuk melatih siswa berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif---kompetensi abad ke-21 yang sangat dibutuhkan di dunia kerja. Namun, ketika idealisme ini diterapkan di lapangan, muncul sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Problematika di Lapangan

Problematika yang dapat ditemukan seperti: 1) Keterbatasan Sumber Daya. Di banyak daerah terpencil, pelaksanaan Kurikulum Merdeka sering kali terbentur pada minimnya fasilitas. Sekolah dengan infrastruktur yang terbatas kesulitan menyediakan bahan ajar, laboratorium, atau akses teknologi yang memadai. Guru di daerah ini sering kali merasa terbebani untuk menciptakan pembelajaran berbasis proyek tanpa dukungan sumber daya yang cukup; 2) Kesiapan Guru. 

Banyak guru mengeluhkan kurangnya pelatihan yang memadai sebelum implementasi Kurikulum Merdeka. Meskipun pemerintah telah menyediakan modul dan pelatihan daring, tidak semua guru memiliki literasi digital atau akses yang memadai untuk mengikuti pelatihan tersebut. Akibatnya, banyak guru yang bingung tentang bagaimana mengaplikasikan konsep ini secara efektif di kelas; 3) Konteks Sosial yang Beragam.

Kurikulum Merdeka dirancang untuk fleksibel, tetapi dalam praktiknya, perbedaan konteks sosial antara sekolah di perkotaan dan pedesaan menciptakan kesenjangan dalam implementasi. Sekolah di perkotaan cenderung lebih siap karena memiliki akses ke sumber daya yang lebih baik, sementara sekolah di pedesaan sering kali tertinggal. Ketimpangan ini dapat memperlebar jurang kualitas pendidikan di Indonesia; 4) Evaluasi dan Penilaian. Salah satu tantangan terbesar dalam Kurikulum Merdeka adalah sistem evaluasi. 

Penilaian berbasis proyek membutuhkan waktu, tenaga, dan pemahaman mendalam dari guru. Di sekolah dengan jumlah siswa yang besar, guru sering kali kewalahan dalam memberikan penilaian yang objektif dan bermakna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline