Lihat ke Halaman Asli

Jamal Syarif

Peneliti dan pengajar

No Excuse

Diperbarui: 29 November 2024   21:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, suasana ruang kelas doktoral kami terasa sedikit berbeda. Umar, yang biasanya tampil percaya diri dalam setiap presentasi, terlihat gugup. Ketika ia maju ke depan kelas untuk membahas makalahnya yang berjudul Tantangan Evaluasi Pendidikan Islam, ada keheningan yang ganjil, seolah-olah semua orang tahu sesuatu yang tidak ia katakan.

"Maaf jika presentasi saya kali ini kurang maksimal," katanya membuka, suaranya terdengar datar. "Saya mengalami kecelakaan kecil saat bermain bola kemarin. Saya mencoba semampunya menyelesaikan makalah ini."

Presentasinya dimulai, tapi jelas terlihat bahwa Umar tidak berada dalam performa terbaiknya. Slidenya minim data, argumennya terasa dangkal, dan analisisnya jauh dari harapan kami. Ketika ia menutup presentasi, ada jeda singkat sebelum pertanyaan pertama muncul.

Samuel, yang duduk di baris depan, mengangkat tangannya dengan antusias, tapi nada suaranya terdengar tegas, hampir mendesak. "Umar, aku paham situasimu, tapi menurutku alasan kecelakaan bola itu tidak cukup untuk menjelaskan kenapa analisismu begitu dangkal. Evaluasi Pendidikan Islam itu topik besar. Kau bahkan tidak menyentuh isu metodologi yang jadi inti dari tantangan evaluasi."

Umar mencoba menjawab, suaranya sedikit bergetar. "Samuel, saya tahu analisis saya masih kurang. Tapi saya merasa bahwa fokus pada tujuan evaluasi---"

Samuel memotong, suaranya meninggi. "Tujuan evaluasi itu dasar, Umar! Kalau kau hanya berbicara soal itu tanpa menyinggung instrumen dan praktiknya, bagaimana kita bisa menyebut makalah ini layak?"

Herlina, yang biasanya lebih tenang, ikut angkat bicara. "Umar, aku setuju dengan Samuel. Evaluasi itu soal detail, dan makalahmu tidak memberikan peta yang jelas tentang bagaimana tantangan ini bisa diatasi. Kau hanya menyebutkan tantangannya, tapi tanpa solusi."

Umar menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku memang berencana menambahkan bagian itu, Herlina. Tapi, karena waktu---"

Hamli memotong dengan nada lembut namun tegas. "Umar, kita semua tahu waktu selalu jadi tantangan. Tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kedalaman analisis. Evaluasi Pendidikan Islam itu kompleks, dan kau harus memberikan sesuatu yang lebih konkret."

Umar terlihat semakin tegang. "Aku menerima semua kritik ini," katanya, suaranya terdengar sedikit serak. "Aku tahu makalah ini tidak sempurna, dan aku akan memperbaikinya."

Namun, kritik tidak berhenti. Samuel kembali melanjutkan, kali ini dengan nada emosional. "Umar, aku tahu kau bisa lebih baik dari ini. Kita tidak bicara tentang sekadar tugas, ini tentang tanggung jawab akademik. Tidak ada ruang untuk alasan di sini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline