Lihat ke Halaman Asli

Jamal Syarif

Peneliti dan pengajar

Objektifitas yang Terselubung

Diperbarui: 22 November 2024   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, suasana ruang kelas doktoral kami terasa lebih hidup dari biasanya. Sidik baru saja menyelesaikan presentasi tentang subjektivitas dan objektivitas dalam etika evaluasi. Ia, seperti biasa, membawakan materinya dengan tenang, meski terlihat ada keraguan di balik senyumnya.

"Evaluasi, pada dasarnya, selalu bersinggungan antara subjektivitas dan objektivitas," ujar Sidik, menutup presentasinya. "Tugas kita adalah mencari keseimbangan di antara keduanya, memastikan evaluasi tetap relevan dan adil."

Tak butuh waktu lama bagi Rohama untuk angkat bicara. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda darinya. Biasanya ia berbicara dengan lembut dan tenang, tapi hari itu suaranya penuh tekanan.

"Sidik," katanya, memandang lurus ke arahnya, "apa yang kau sebut objektivitas itu hanyalah konstruksi yang sering kita anggap absolut. Evaluator tetaplah manusia, dengan bias, persepsi, dan pengalaman mereka. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa evaluasi bisa benar-benar objektif?"

Sidik menelan ludah, tapi sebelum ia sempat merespons, Herlina menyela. "Rohama, aku setuju bahwa bias manusia tak bisa dihindari. Tapi justru karena itu kita memerlukan standar objektivitas. Evaluasi tidak bisa hanya bergantung pada subjektivitas, karena itu akan membuatnya terlalu relatif."

Hamli, yang duduk di sebelah Herlina, angkat bicara dengan aksen Hulu Sungai yang khas. "Betul itu, Herlina. Objektivitas itu seperti peta. Memang tidak sempurna, tapi tanpa peta, kita hanya akan tersesat. Subjektivitas bisa melengkapi, tapi ia bukan dasar evaluasi."

Rohama menatap keduanya dengan sorot mata yang tajam. "Tapi bagaimana dengan konteks? Setiap individu, setiap situasi, memiliki nuansa yang berbeda. Jika kita terlalu kaku dengan objektivitas, kita justru kehilangan esensi manusia yang dievaluasi."

Herlina menghela napas panjang. "Rohama, aku tidak bilang objektivitas itu absolut. Tapi evaluasi yang baik dimulai dari tujuan yang jelas. Marvin C. Alkin, dalam Evaluation Roots, menjelaskan bahwa evaluasi dibangun berdasarkan tujuan yang telah dirancang. Tanpa itu, evaluasi akan kehilangan arah."

Nama Marvin C. Alkin seperti bel yang berbunyi di ruangan itu. Referensi akademik yang kuat dari Herlina membuat pendapatnya terasa semakin kokoh. Rohama tampak semakin terpojok, tapi ia tetap berusaha mempertahankan argumennya.

"Tujuan yang dirancang itu pun berasal dari subjektivitas manusia, bukan? Siapa yang menentukan tujuan itu? Siapa yang memutuskan standar objektivitas?" tanyanya, suaranya sedikit gemetar.

Hamli tersenyum kecil, seolah sudah menyiapkan jawaban. "Tujuan itu dibuat berdasarkan konsensus ilmiah, Rohama. Memang ada subjektivitas di awalnya, tapi itu menjadi pijakan untuk menciptakan standar yang lebih adil."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline