Hari itu langit tampak mendung ketika aku memasuki kelas. Riuh rendah percakapan mahasiswa PPG langsung mereda begitu aku masuk, seakan angin dingin pagi itu ikut membawa suasana serius yang memenuhi ruangan.
Di hadapanku, duduklah sekitar tiga puluh peserta PPG---wajah-wajah yang penuh tekad namun tersirat keletihan. Kuliah kali ini membahas tentang "Peran Guru sebagai Agen Perubahan." Topik yang, bagiku, lebih dari sekadar teori. Topik ini berisi kenyataan dan tantangan nyata dalam dunia pendidikan.
Aku melirik ke arah Dani, seorang mahasiswa dengan ekspresi berpikir mendalam yang duduk di baris tengah. Dia adalah guru muda dari sebuah desa di Hulu Sungai, yang baru saja beberapa bulan lalu menerima surat penempatan di sekolah yang hanya memiliki satu ruang kelas. Dani selalu punya pertanyaan tajam, yang kadang membuatku harus berhenti dan berpikir dua kali.
"Pak, sebenarnya, apa yang dimaksud sebagai 'agen perubahan' dalam kondisi seperti sekolah kami?" tanyanya dengan suara mantap.
Aku mengangguk. Pertanyaan ini, walaupun sederhana, sangatlah dalam. "Menjadi agen perubahan itu bukan hanya tentang membuat perubahan besar, Dani. Kadang, itu berarti memberikan sedikit lebih banyak perhatian kepada murid yang butuh dukungan, atau mengusahakan agar mereka tetap memiliki harapan."
Dani terdiam, tapi aku tahu ia masih menyimpan keraguan. Kulihat wajah-wajah lain di kelas, sebagian mulai menunduk, merenungkan kata-kataku.
"Lalu, bagaimana, Pak, kalau kita sendiri yang butuh dukungan?" suara lembut Farida Zulaiha, mahasiswa lain, terdengar dari ujung ruangan. "Kadang kita harus berjuang sendirian, dan jujur saja, itu melelahkan."
Aku tersenyum simpul, mengingatkan diriku sendiri bahwa mereka memang butuh lebih dari sekadar teori. "Itu sebabnya kalian di sini," kataku dengan lembut. "Karena kalian adalah generasi guru yang tak hanya kuat, tapi juga tahu kapan harus meminta dukungan. Menjadi agen perubahan artinya membangun jaringan---bersama-sama menghadapi tantangan. Tidak ada guru yang harus berjuang sendirian."
Di tengah diskusi, pintu kelas mendadak terbuka, dan Bu Rini, kepala program studi, melangkah masuk dengan raut serius. "Dr. Ahmad, kita perlu bicara nanti," katanya singkat sebelum melangkah keluar tanpa menunggu jawabanku. Seisi kelas hening. Aku tersenyum sejenak kepada mahasiswa, berusaha menyembunyikan perasaan tegang di hatiku.
Di ruang dosen, Bu Rini menungguku. Senyumnya tipis saat menyuruhku duduk.
"Pak Ahmad, ada beberapa keluhan dari dosen lain," katanya perlahan. "Metode Bapak terlalu 'ideal' menurut mereka. Mereka merasa Bapak terlalu menekankan aspek moral dan idealisme pada mahasiswa, sedangkan mereka merasa kita harus lebih realistis."