Lihat ke Halaman Asli

Jamal Syarif

Peneliti dan pengajar

Es Krim di Balik Desain Pengukuran

Diperbarui: 8 November 2024   20:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, kelas doktoral kami berubah menjadi arena perdebatan yang mengguncang. Di meja tengah, Herlina dan Rohama saling berhadapan seperti dua arus sungai yang sama derasnya, namun mengalir ke arah berbeda. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, begitu tebal dan nyaris tak bisa dipecahkan oleh suara-suara ringan dari kelas lain.

"Rohama, izinkan aku jujur," kata Herlina, suaranya tenang namun tajam, seperti pisau yang mengiris perlahan. "Makalahmu ini---bagaimana ya, kukira judulnya tentang desain pengukuran dalam evaluasi, tapi isinya seperti terjun ke jurang yang berbeda. Hampir tak kusentuh satu pun pembahasan soal desain pengukuran, dan sejujurnya ini jadi... tidak relevan."

Rohama, biasanya setenang embun pagi, kini tampak terguncang. Matanya berkedip, seolah mencari sesuatu untuk disanggah, tapi kata-kata itu macet di tenggorokan. Aku melihat rona merah mulai menjalar di pipinya, dan tangannya menggenggam erat pena di depannya, tanda bahwa kritik itu benar-benar menghujam dalam.

"Ya, tapi, bukankah..." Rohama berusaha menyusun kalimat, namun keraguannya seperti kunci yang menahan aliran kata-kata.

Herlina mengangkat alis, sorot matanya tak goyah. "Kita berbicara tentang akademik, bukan sekadar opini. Kalau kita mengangkat judul 'Desain Pengukuran dalam Evaluasi,' tentu pembaca berharap menemukan penjelasan tentang desain yang digunakan, bagaimana variabel diukur, atau bahkan metodologi dasar pengukurannya."

Aku yang duduk tak jauh dari mereka ikut terperangkap di antara pertarungan ini. Sebenarnya aku menyimpan simpati pada Rohama. Aku tahu, ia menghabiskan waktu berhari-hari mengerjakan makalahnya. Namun, kali ini aku sependapat dengan Herlina. Bukan soal berpihak, tapi kritik itu terasa begitu jujur dan perlu, apalagi untuk seseorang yang menginginkan kedalaman dalam dunia akademik.

"Aku... Aku berpikir, mungkin Rohama memang punya sudut pandang lain," kataku, mencoba menyelipkan nada diplomatis, meskipun aku tahu kalimat itu tak sepenuhnya membela. "Tapi, Herlina ada benarnya, Rohama. Ada baiknya kamu membahas lebih jauh soal desain pengukurannya. Mungkin bisa diperdalam agar sesuai dengan topik"

Rohama melirik tajam padaku, sinar matanya mencerminkan perasaan tersudut yang berkecamuk. Ia mungkin tak menyangka aku malah bergabung dalam suara yang menyudutkannya. Ia membuang muka, dan senyum getirnya tersirat. Seketika itu, rasa bersalah menyelinap dalam hati, namun sulit bagiku untuk meralat kata-kata yang sudah terlontar.

Di sudut lain, Sidik, biasanya menjadi peredam ketegangan, kini justru hanya diam memandangi meja. Aku tahu ia berpihak pada Rohama, namun kali ini ia pun tak berkutik, seolah menyadari bahwa pembahasan ini telah melewati batas yang ia sanggupi.

Herlina menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lunak. "Rohama, bukan berarti aku tak menghargai usahamu. Tapi kita ini di sini untuk belajar dan berkembang. Kritik ini adalah bentuk rasa hormatku terhadap perjuanganmu, agar karya ini lebih mendalam, lebih tajam."

Rohama, meski terlihat memerah, akhirnya berhasil mengumpulkan kata-kata. "Herlina, aku... aku hanya ingin menggabungkan sisi praktis dan teori. Aku merasa, kalau sekadar fokus pada desain pengukuran, mungkin hasilnya akan terasa kering..."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline