Lihat ke Halaman Asli

Siapa Dulu yang Seharusnya Menghemat BBM

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ribut-ribut tentang BBM bersubsidi terus saja mengisi hari-hari penduduk negeri ini. Masyarakat terus dijejali dengan doktrin cadangan minyak bumi nusantara yang kian menipis atau tingginya besarnya bilangan rupiah yang dikeluarkan pemerintah untuk menyubsidi penjualan BBM.

Indoktrinasi itu kemudian ditindaklanjuti dengan berbagai program pemerintah untuk melakukan penghematan BBM. Diantaranya pelarangan penggunaan premium sebagai BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas pemerintah pusat hingga daerah.

Pelarangan tersebut juga diberlakukan pada semua kendaraan bermotor milik BUMN dan BUMD serta milik perusahaan perkebunan dan pertambangan di seluruh Indonesia.

Faktanya, bukannya ditaati, aturan ini justru disiasati. Pelakunya bukan saja oknum pegawai negeri namun juga institusi pelat merah. Mereka tetap saja ‘menenggak’ BBM bersubsidi dengan berbagai cara.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah membuang stiker bertuliskan ‘KENDARAAN INI TIDAK MENGGUNAKAN BBM BERSUBSIDI’ yang sebelumnya ditempelkan. Lalu mengganti plat kendaraan dengan yang berbahan dasar hitam.

“Dan yang paling penting adalah saat beli ke SPBU tidak menggenakan seragam dinas sehingga tidak terlalu mencolok. Buktinya ya bisa,” begitu yang dikatakan salah satu PNS di lingkungan Pemkab Sidoarjo.

Menurut sumber tadi, ‘pelanggaran’ itu terpaksa dilakukan dengan dalih gaji mereka tak cukup jika harus mengkonsumsi Pertamax. Selain itu jatah BBM yang diberikan negara/daerah pada mereka adalah Premium. Tentu tak ada alokasi dana ekstra untuk menambah biaya BBM kendaraan dinas karena kebijakan itu turun di tengah-tengah perjalanan tahun anggaran.

Retorika Hemat Listrik

Program lainnya adalah penghematan energi listrik di kantor-kantor pemerintah. Tujuan akhirnya adalah memangkas penggunaan BBM yang dipakai sebagai bahan baku utama produk setrum.

Tapi kenyataannya tak seindah retorikanya. Mungkin hanya sehari atau dua hari saja para pejabat negara dan daerah itu melepas jasnya agar tak selalu menggunakan AC di ruang kerja. Hari berikutnya mereka kembali merasa tak nyaman jika tak ada putaran kipas mesin penyejuk ruangan.

Lampu-lampu juga dipendar sehari penuh, begitu juga dengan komputer dan alat elektronik lainnya. Dan fakta yang paling dapat dilihat adalah tak pernah ada dalam sejarah bangsa ini, baik pemerintah pusat atau daerah memangkas biaya belanja rekening listriknya.

Program lainnya yang kemudian melibatkan masyarakat adalah car free day yang biasanya dihelat setiap akhir pekan. Sambuatan masyarakat memang antusias karena pada saat itu mereka bisa menggunakan badan jalan untuk ruang bermain mereka, terutama warga yang tinggal di kota-kota besar.

Pertanyaannya adalah bagaimana dengan orang-orang pemerintah? Kerap terlihat mobil-mobil pelat merah tetap bersliweran di jalan raya ketika hari Minggu tiba. Jadi penggunaan BBM bersubsidi tetap menggelontor deras.

Program terbaru yang sempat terlontar adalah adanya pembatasan penyaluran BBM bersubsidi dengan pencanangan hari tanpa Premium. Pertamina pun langsung responsif. Jatah Premium ke berbagai SPBU dipangkas. Akibatnya antrean panjang tak terhindarkan dan kemudian program itupun dibatalkan.

Wacana program yang gagal lainnya adalah rencana pelarangan Premium untuk mobil keluaran tahun 2.000 ke atas. Tapi setelah mendapat tentangan keras dari masyarakat, lagi-lagi wacana itupun dicoret begitu saja.

Muncul kesan kebijakan pemerintah terkait penghematan BBM itu cuma parsial dan tanpa perencanaan yang matang. Pengawasan yang dilakukan terhadap kelangsungan program juga tak dilakukan secara ketat.

Kalau memang ada goodwill dan political will dari pemerintah terkait penghematan BBM dan dana subsidi itu kenapa tak sekalian saja menutup kran perdagangan kendaraan bermotor baru selama setahun.

Hitung saja berapa jumlah BBM yang bisa dihemat jika tak ada mobil dan motor baru selama kurun waktu itu. Dengan cara itu, tingkat pencemaran udara juga bisa ditekan. Belum lagi dengan keseimbangan antara pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dengan ketersediaan infrastruktur jalan yang selama ini sudah njomplang.

Catatan lainnya, institusi pemerintah merupakan konsumen yang cukup besar bagi pabrikan kendaraan bermotorkarena terus melakukan pengadaan setiap tahunnya.

Perhitungannya kemudian, berapa nilai pendapatan negara dari hasil pajak dan retribusi perdagangan kendaraan bermotor baru jika dibandingkan dengan nilai penghematan subsidi BBM, terkuranginya pencemaran udara, perawatan jalan dan transportation cost lainnya.

Para cerdik pandai aparatur negara pasti sudah tahu tentang hal ini. Lalu kenapa masyarakat terus yang disuruh berhemat sementara teladan dari sang pamong tak kunjung dilakukan.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline