Lihat ke Halaman Asli

Yang Sarjana Juga Nganggur

Diperbarui: 3 Mei 2017   01:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

               Tulisan ini berangkat dari timbulnya persepsi masyarakat pedalaman, yang sepertinya masih menjanggal di benak penulis. Mereka beranggapan bahwa kuliah itu tidak penting, dengan alasan realitasnya ada beberapa bahkan banyak lulusan kuliah yang masih kesusahan mencari lapangan kerja, sehingga tidak sedikit pula lulusan kuliah yang kerja tidak sesuai gelar kesarjanaannya seperti jaga warnet, kerja di bengkel, bahkan ada juga yang kerjanya serabutan (nek ono yomegawe, nek ga ono yo turu), hal ini istilah kerennya biasa kita sebut dengan “Pengangguran Intelektual”.

                Persepsi seperti ini mungkin tidak hanya terjadi di daerah penulis, mungkin saja juga terjadi di daerah lain. Kita sebagai objek gunjingan tersebut jangan cuma bisa tersinggung, namun juga harus memikirkan bagaimana cara meluruskan persepsi masyarakat terkait. Persepsi tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap status/kondisi pendidikan masyarakat, dantentunya juga berpengaruh terhadap kondisi sosialnya. Semakin baik pendidikan suatu masyarakat maka semakin baik pula kondisi sosialnya, dan di situ pula letak batu loncatan Negeri ini untuk lebih maju. Akan tetapi sebaliknya, semakin buruk pendidikan di suatu masyarakat maka semakin buruk pula kondisi sosialnya, dan di sini pula awal kehancuran Negeri tercinta ini, na’udzubilLah...

                Sebenarnya rasionalisasinya sangat mudah untuk menjawab persepsi masyarakat seperti itu. Jika mereka mengatakan bahwa kuliah tidak kuliah sama saja karena pada realitasnya masih ada sarjana yang nganggur. Maka kita juga beri pernyataan kepada mereka, bahwaorang yang berkendara di tepi/pinggir sama saja dengan orang berkendara di tengah,karena pada realitasnya dua-duanya sama-sama pernah mengalami kecelakaan. Kita lihat tanggapan mereka, yang pasti mereka tidak sependapat dengan pernyataan kita. 

                Artinya adalah “hidup inirealistis saja”. Pikirkan yang mungkin-mungkin saja sesuai dengan kemampuan berpikir manusia pada umumnya. Jangan terlalu jauh berpikir sehingga terlalu kabur dari rasionalisasi manusia pada umumnya. 

                Premis positif dari sarjana yang kerja di bengkel (misalnya) adalah “untung dia kuliah, kuliah saja dia jadi tukang bengkel apalagi gak kuliah, mungkin saja dia jadi pencopet, begal, dan sebangsanya”. Jadi, kalau dia tidak kuliah, yang jelas kemungkinan besarnya dia akan lebih buruk dari keadaan yang sekarang. Untuk orang yang rasionya masih sehat pasti kerangka berpikirnya ke arah positif (premis popsitif), berbeda dengan orang yang rasionya sudah sedikit eror pasti kerangka berpikirnya ke arah negatif (premis negatif) terus.

                Semoga kita tergolong orang yang berpegang teguh pada premis positif, sehingga bisa meluruskan persepsi masyarakat nantinya.

 

 

Wallahu a’lam

 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline