Makin hari saya makin menyadari bahwa ternyata hidup manusia itu memang benar-benar fana. Kita sama sekali tidak pernah bisa mengetahui apa yang akan terjadi esok pada hidup kita.
Sayapun makin mahfum bahwa memang hidup dan mati kita ini ada yang mengatur, yakni Sang Agung, Duwata. Pagi ini, kita mendapat informasi dari semua massa online dan media social bahwa Didi Kempot dipanggil Sang Pemiliknya.
Legenda hidup musik campur sari ini meninggal dunia pada Selasa (5/5), sekitar pukul 07.45 WIB di rumah sakit. Menurut Lilik, kakak kandung Didi, "The Godfather of Brokenheart" ini mengalami henti jantung begitu sampai di rumah sakit.
Saya harus menulis artikel ini sebagai bentuk doa saya dan kita, pembaca kompasiana, atas karya, dedikiasi, keberpihakan Didi Kempot terhadap banyak hal di sekitar kita yang bernuansa kemanusiaan. Ia peduli sesama, rendah hati dan nasionalis, diterima semua kalangan.
Ketika menulis doa ini (baca: artikel ini adalah doa kita untuk Mas Didi), sambil mendengarkan lagu-lagu Didi Kempot, tak terasa ada aliran hangat di pipi.
Terus terang, meski saya hanya sedikit mengerti bahasa Jawa, namun karena hampir dua tahun terakhir ini lagu campur sari Didi Kempot sangat popular, terutama di kalangan milienial, saya pun penasaran dan mencarinya, mendengarkannya dan lama-lama senang dengan musik dan beberapa bait lagunya yang saya mengerti.
Yang paling membuat saya salut dan terinpirasi adalah perjuangan panjangnya sebelum popular. Dari situs gelatikrecordindonesia.blogspot, saya mengetahui bahwa Didi awalnya beragama Kristiani (tidak dijelaskan apakah Katolik atau Kristen) dengan nama asli Dionisius Prasetyo.
Ibunya beragama Kristiani. Didi pindah agama tahun 1997 setelah menikah dengan Yan Vellia, penyanyi dangdut partner konser outdoor-nya. Ia lahir di Surakarta 31 Desember 1966. Ia putra pelawak populer di Solo, Ranto Edi Gudel (alm). Mamik, Srimulat, adalah saudara kandung Didi. Saudara kandung lainnya adalah Veronika Tatik Hartanti, Sentot Suwarso, Antonius Lilik Subagyo dan Eko Guntur Martinus.
Kabarnya, ia pernah bersekolah di SMA De Brito, Yogyakarta. Tak tamat SMA, Didi membulatkan tekadnya untuk menjadi penyanyi. Langkah awal dengan membeli gitar. Karena ingin punya gitar sendiri, ia menjaul sepeda hadiah ayahnya. Dengan tekad membara ia ke Jakarta.
Karena di Jakarta hidup sulit, ia mengamen. Ia dan beberapa teman pengamen mendirikan grup musik akustik yang diberinama "Kempot Band" yang merupakan singkatan dari Kelompot Penyanyi Trotoar.
Keberadaan Didi diketahui Mamik yang sudah popular di Jakarta. Mamik tidak menyangka Didi mau mengamen padahal keluarga mereka orang mampu. Didi ingin untuk sukses tanpa mengekor pada keberhasilan kakak dan ayahnya.