[caption id="attachment_311847" align="aligncenter" width="640" caption="Merah putih berkibar di langit yang biru sebagai harapan bersama"][/caption]
Tahun 2014 kita kembali dihadapkan dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden yang sudah di depan mata. Beragam informasi seputar calon presiden dan wakilnya berseliweran dengan telanjang dapat kita baca dan tonton di media baik media mainstream maupun media sosial. Sangkin padatnya informasi itu, bisa sampai bikin kita muntah lantaran pusing memilah informasi mana yang sesungguhnya berasal dari sumber terpercaya atau sekedar sampah yang kemudian disebar lewat media-media itu.
Terlahir sebagai anak pasangan suami isteri yang berprofesi sebagai guru dan pastinya PNS, kami dibesarkan dalam hiruk pikuk partai politik dan tak perlu dijelaskan lagi pastinya Golkar sebagai partai penguasa di era itu. Bahkan ayah saya sempat ditetapkan oleh partai tersebut untuk menjadi calon legislatif untuk kota kelahiran saya. Namun gagal lantaran pemerintah waktu itu menerbitkan keputusan melarang PNS untuk terlibat partai politik atau menyalonkan diri sebagai caleg.
Karenanya, sejak kecil saya terbiasa mengikuti ayah saya hadir dalam berbagai forum kepartaian bahkan pada kegiatan kampanye. Malah suatu ketika waktu masih duduk di bangku sekolah dasar, kami pernah diminta untuk hadir ke TPS untuk menggunakan hak pilih meski waktu itu kami bersaudara belum masuk usia pemilih.
Di usia yang masih dini juga saya sudah menyaksikan bagaimana panitia pemungutan suara di lingkungan tempat kami melakukan kecurangan. Sebuah paku ditancapkan di bawah meja. Ketika penghitungan suara dilakukan beberapa kertas suara yang masih kosong – ntah dari mana datangnya – satu per satu dihitung setelah terlebih dahulu dicobloskan ke paku di bawah meja tadi. Hasilnya, partai dimana ayah saya bernaung pun terus memenangi Pemilu waktu itu.
Apa hubungannya dengan Pilpres 2014?
Sebagai bagian dari Generasi Y yang pastinya tidak terlibat langsung dalam aksi demonstrasi ’98 ketika kekuasan Soeharto diakhiri, sebagai anak lelaki waktu itu saya melihat bagaimana gerakan sosial terjadi di berbagai tempat. Media pun menyiarkan secara langsung perkembangan aksi tersebut baik di daerah maupun di gedung DPR dan MPR.
Berlanjut ketika memasuki perguruan tinggi dan bekerja sebagai seorang jurnalis serta lembaga non pemerintah maupun lembaga pemerintah dalam hal pemberdayaan masyarakat, secara transparan kembali saya menemukan bagaimana minimnya kepedulian pemerintah berkuasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya pada wilayah-wilayah perdesaan. Hampir tidak tersentuh oleh pembangunan; tanpa jalanan yang layak, tanpa akses publik yang memadai, bahkan masih ada yang tanpa aliran listrik. Seakan kehidupan mereka sebagai warga negara berjalan tanpa adanya pemerintahan. Pemerintah hanya hadir dalam wujud pemerintahan desa yang itu pun dalam segala keterbatasan.
[caption id="attachment_311848" align="aligncenter" width="640" caption="Minimnya fasilitas dan akses publik menjadi wujud alphanya pemerintah dalam rangka pemenuhan hak warga negara."]
[/caption]
Hadirnya pemerintahan dalam wujud kepala daerah dan pejabat yang sangat berkaitan dengan politik dan kepartaian seakan menjadi pengaminan atas kondisi yang terjadi di masyarakat itu. Hanya kalangan tertentu yang dapat benar-benar menikmati fasilitas dan derap langkah pembangunan. Sedangkan sisanya, hanya menjadi remah-remah di negara ini yang hampir dapat disebut sama sekali belum menikmati kemerdekaan.
Padahal pemerintah mulai dari pusat hingga ke daerah telah menggelontorkan anggaran untuk mendorong percepatan pembangunan dalam berbagai sektor. Lantas kemana perginya anggaran tersebut dan berapa yang sesungguhnya tepat sasaran menyentuh pada sendi kebutuhan prioritas masyarakat yang setiap lima tahun sekali dipaksa untuk menentukan pilihan memilih wakil mereka.
Lalu apakah hadirnya dua pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2014 ini bisa menjawab persoalan tadi? Saya meragukannya. Apalagi pada pasangan calon yang kini diusung oleh partai-partai dan orang-orang yang selama ini berada pada tampuk kekuasaan yang logikanya selama ini dapat menerbitkan dan melaksanakan kebijakan sebagaimana yang kini coba mereka jargonkan sebagai visi misi pasangan calon mereka.
Mengapa ketika jelang pelaksanaan pemilihan presiden mereka dapat menyimpulkan hal-hal yang memang menjadi kebutuhan prioritas masyarakat, baik yang berasal dari akal pemikiran mereka maupun yang memang berasal dari hasil kunjungan mereka ke masyarakat. Apakah itu dalam bentuk menyerap aspirasi atau sebatas hanya dalam rangka pencitraan untuk meraup dukungan lantas kemudian, lupa.
[caption id="attachment_311851" align="aligncenter" width="640" caption="Beragam program dijanjikan pemerintah tapi faktanya masih saja dengan mudah kita temukan masyarakat yang jauh dari sentuhan program tersebut."]
[/caption]
Tidak ada yang salah dalam visi misi para pasangan calon presiden yang diumbar di berbagai ruang. Hampir keseluruhannya mewakili hal-hal yang memang terjadi di negeri ini. Kalau sedemikian idealnyalah pemikiran para pasangan capres dan juga para pendukungnya itu, lalu kemana saja mereka selama ini? Mengapa ketika mereka tahu dan sadar betul tentang persoalan yang dihadapi masyarakat di negeri ini, tidak dilaksanakan? Mungkin akan ada berjuta argumentasi yang akan disampaikan mulai dari situsi, kondisi, hingga persoalan toleransi atau bahkan hubungan antar eksekutif dan legislatif yang justru menjadi penghambat. Tapi lagi-lagi itu semua hanya argumentasi yang tak lebih dari sampah yang kini akan coba didaur ulang.
Lalu siapa pilihan saya pada Pilpres 2014?
Ada sebuah tantangan tersendiri melihat pelaksanaan Pemilihan Presiden 9 Juli 2014. Setelah pada Pemilu Legislatif 2014 saya memilih untuk tidak memillih (golput). Lantaran telah pupusnya simpati saya atas mereka yang lagi-lagi mengatasnamakan akan mewakili rakyat mengaspirasikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Sehingga saya menolak untuk memobilisasi diri dan keluarga dalam rangka menggunakan hak pilih di tempat dimana saya terdaftar sebagai pemilih. Apalagi harus bersedia repot memilih di tempat tinggal yang sekarang. Rugi menginvestasikan rupiah dan waktu yang ada hanya sekedar untuk memilih mereka yang mengklaim akan pro rakyat. Meski sejumlah di antaranya komit.
Tantangan pada Pilpres 2014 ini hadir untuk mewujudkan duduknya ‘kaum muda’ untuk memimpin negeri ini. Muda bukan karena faktor usia tapi lebih pada hadirnya calon dan pendukung yang memang masih belum terlibat aktif dalam pemerintahan berjalan selama ini. Minim dukungan mereka yang selama ini terlibat sebagai stake holders penentu kebijakan dari sebuah kementerian namun tak juga berbuat apapun atas rakyat.
Bebas dari kehadiran ‘orang-orang tua’ dari keemasan Reformasi yang dulunya berteriak keras mengecam pemerintahan dan oknum-oknum yang ada di belakangnya tapi kemudian justru berbalik mendukung mereka dengan alasan politik yang tak lebih dari sebuah wujud menguatkan kepentingan dan kehausan mereka akan kuasa.
Muda sebab hadir seadanya tanpa terlihat sangat ekslusif menggunakan simbol-simbol kemapanan dalam bentuk harta benda yang terukur rupiah. Hadir berdasarkan jenjang karir yang jelas dan telah merealisasikan dan mendedikasikan karirnya bagi upaya mendorong perubahan atas kondisi yang dihadapi oleh rakyatnya.
Meski kemudian terkesan coba-coba, namun pastinya tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Sama seperti yang dilakukan sejumlah orang ketika Pilpres sebelumnya dimana waktu itu saya memastikan alpha dengan memilih untuk tidak memilih. Bukan karena mencoba melakukan hitung-hitungan melalui pendekatan angka-angka dan nilai-nilai ketuhanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H