Lihat ke Halaman Asli

Berlomba dengan Waktu dan Kematian

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal yang paling kuingat dari hari raya Idul fitri di tahun-tahun kanakku adalah ketika Bapak selalu mengajakku untuk berziarah ke makam kakek dan nenek setelah selesai sholat Ied. Masih mengenakan sarung, peci dan baju koko yang sama yang kami kenakan untuk ke masjid, kami bertiga: Bapak, aku, dan kakak laki-lakiku berjalan kaki ke pemakaman yang kebetulan letaknya tidak begitu jauh dengan rumah. Seiring berjalannya waktu, setelah dua adik lelakiku sudah cukup dewasa, maka jadilah pada setiap usai sholat Iedul fitri, kami berlima, seperti Boysband bersarung, berziarah ke pemakaman desa.

Di antara deretan nisan tak bernama itu kami melangkah menuju ke makam kakek dan nenek, yang letaknya berjauhan. Aku selalu kagum kepada Bapak, karena beliau selalu mengingat di mana letak makam mereka. Padahal, hampir semua makam di pemakaman desa kami bentuknya serupa, tanpa nama, hanya nisan-nisan kayu dan batu yang menjadi penanda. Jarak antara makam yang satu dengan yang lain pun sangat rapat. Hampir sudah tidak ada ruang kosong. Jujur saja, jika aku harus sendirian untuk mencari makam kakek dan nenek, mungkin aku tidak akan bisa menemukannya dengan tepat.

Di atas makam kakek, kami berjongkok. Sambil berdzikir, Bapak membersihkan pusara dan mencabuti rumput-rumput liar. Setelah itu menaburkan bunga melati. Lalu Bapak memimpin kami membaca Surat Yasin dan tahlil. Sewaktu kecil, sebelum aku bisa melafalkan Alquran dengan sempurna, aku hanya melafalkan Surat Al-Ikhlas berulang kali, selama waktu Bapak dan kakakku membaca Yassin.

“Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya,” demikian Bapak sekali waktu mengutip salah satu hadist Rasulullah SAW. Lalu Bapak menasehatiku untuk selalu berbuat kebaikan dan banyak beramal meskipun dalam keterbatasan. Beliau juga menasehatiku untuk memperbanyak ilmu yang bermanfaat. Dan nasehat utama beliau adalah agar aku menjadi anak yang sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya. Semoga kelak aku bisa menjadi anak sholeh yang senantiasa mendoakan kedua orang tua, sehingga pahala mereka tidak akan pernah putus.

Begitu khidmat Bapak memimpin kami mendoakan kakek dan nenek. Semakin tahun, semakin usiaku bertambah, semakin aku menyadari bahwa kematian selalu mengintai, terlebih karena usia Bapak yang semakin tua. Aku menyadari bahwa suatu saat, aku lah yang akan memimpin doa, bersama anak-anakku kelak, mendoakan Bapakku yang terbaring dalam damai di bawah pusara. Dan aku akan mengulangi perkataan Bapakku kepada anak-anakku. Semoga mereka menjadi anak-anak yang sholeh. Ya, setiap tahun, disadari atau tidak, Bapak selalu mengingatkan aku kepada kematian. Setiap yang hidup pasti akan mati. Kullu Nafsin Dzaikatul Maut.

Beberapa waktu silam aku pernah bermimpi, Bapak pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Selama beberapa saat setelah terjaga, aku hanya diam, pikiranku kosong, hatiku kosong, mendadak aku merasa lemas, seolah ada sesuatu yang sangat berarti yang tiba-tiba terenggut. Butuh waktu beberapa saat sebelum menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Meski demikian, perasaan kehilangan yang teramat dalam itu selalu menghantuiku.

“Nanti, kalau Bapak sudah meninggal, gantian kamu yang akan membacakan doa untuk Bapak.” Demikian aku mengingat pesannya suatu ketika sebelum kami bangkit dan beranjak meninggalkan makam kakek. Aku hanya bisa termenung, mencerna dan meresapi ucapan Bapak, mengendapkannya ke lubuk hati yang paling dalam. Ya, jika saatnya sudah tiba, aku tidak bisa menolak kepergian beliau. Apapun yang terjadi, siap atau tidak siap, aku harus merelakan dan berusaha mengikhlaskannya. Lebaran tahun lalu, aku terkejut dan terharu manakala melihat Bapak berurai air mata saat meminta maaf kepada ibu, demikian halnya dengan ibu. Lebaran-lebaran sebelumnya, dalam ingatanku yang terbatas, acara sungkeman setelah sholat Ied, Bapak dan ibu tidak pernah sampai berurai air mata, meskipun ketulusan tetap terpancar dari raut wajah Bapak maupun ibu. Malah aku yang selalu tak kuasa meneteskan air mata, menyadari segala kesalahan dan kekurangan serta kenyataan bahwa aku belum memberikan sesuatu yang berarti untuk membahagiakan mereka. Saat itu aku sungguh takut, khawatir bahwa itu adalah sebuah pertanda. Aku sungguh sangat takut. Aku takut jika Allah akan menjemput salah satu dari mereka sebelum lebaran berikutnya tiba. Aku sungguh takut.

Pada akhirnya, aku hanya bisa berdoa kepada-Nya agar ayah dan ibu diberi karunia kesehatan dan umur panjang, agar Allah memberi keduanya cukup umur hingga keduanya bisa menyaksikan putra-putri mereka dewasa sepenuhnya, menjadi manusia seutuhnya, yang berguna bagi dirinya, keluarganya dan masyarakatnya.

Aku sadar, perubahan tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk itulah aku selalu berdoa, semoga Allah memberikan cukup waktu bagi Bapakku untuk menyaksikan proses demi proses perubahan diriku menuju pencapaian-pencapain besar dalam perjalanan hidupku. Pencapaian yang akan aku persembahkan untuknya. Aku ingin membuat beliau bangga pernah mendidik dan membesarkanku. Bapak yang telah menempaku. Bapak yang telah mengajariku untuk bersabar dan ikhlas. Aku ingin menjadi anak sholeh baginya, yang tidak akan pernah memutuskan pahalanya meski beliau telah tiada. Doaku selalu untukmu, Pak.

keringatmu mengering basah jalanmu menempa lelah masih belum juga usai gelisah

tubuhmu yang ringkih langkahmu tertatih menahan letih masih belum juga usai perih

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline