Pemilu selalu menyita perhatian. Tidak hanya bagi partai politik tapi juga bagi para pemilih dan calon. Pemilu serasa masih jauh bagi para pemilih. Tapi akan nampak sangat dekat bagi para calon dan partai politik.
Tahun ini kita sudah disuguhi tetang penomoran partai. Sebagai orang awam politik, saya melihat ini sebagai ruang dialog dari elit politik untuk masyarakat awam seperti saya. Jika dilihat seperti itu, hal ini menjadi tolak ukur sudah dewasanya para elit politik di negeri ini.
Sebaliknya kalau semua itu hanya untuk mengumumkan bahwa penomoran partai tidak hemat anggaran sebagaimana yang disampaikan salah satu politikus senior tentu merupakan kekerdilan pandangan demokrasi. Di Jawa ada istilah Jerbasuki Mawa Beya. Untuk suatu kemajuan tentu membutuhkan biaya.
Jika penomoran partai tidak perlu diganti tentu kurang bijak. Dengan demikian akan dikenal partai senior dan junior. Mengingat partai lama sudah memiliki urutan nomor sedang partai baru belum. Tentu hal ini lebih menguntungkan partai lama.
Akan lebih bijaksana, jika diadakan penomoran ulang sebagai bagian proses dari demokrasi itu sendiri. Jika tetap kesannya demokrasi kita statis tidak dinamis. Biarkan keabadian itu hanya dimiliki oleh perubahan.
Bagi saya orang awam, kunci demokrasi adalah proses perubahan. Jika tidak ada perubahan apalah cap demokrasi ini. Apa capnya adalah demokrasi pemalas. Tidak mau ada yang berubah, walau hanya dimulai dari nomor urut partai saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H