Lihat ke Halaman Asli

Membangun Karakter (Puasa)

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melanjutkan tulisan saya yang berjudul “Manifesto Sosial (Puasa)” yang berisi tentang pemanfaatan atas kebutuhan waktu siang mereka yang menjalankan puasa untuk disumbangkan kepada kaum yang tidak beruntung (Marhaen).

Baiklah yang pertama harus dilakukan oleh kita semua untuk menjalankan Manifesto Sosial (Puasa) tersebut ialah dengan membangun karakter manusia yang berpuasa. Karakter yang bagaimana yang harus dibangun. Sebagaimana sikap dan pandangan saya terhadap puasa. Bahwa puasa secara social merupakan ajang latihan untuk menyamakan rasa dengan mereka yang kurang beruntung (kaum miskin/marhaen).

Penyamaan rasa ini harus terus menerus dibangun tanpa memandang kapan (termasuk setelah bulan Ramadhan). Cara pembangunan karakter yang paling efektif adalah dengan selalu meluangkan waktu kita semua untuk bersama – sama mereka. Hidup bersama dengan mereka, karena dengan hidup bersama mereka akan selalu menjadikan kita ingat kepada mereka.

Ingatan yang terus menerus harus juga didorong dengan sikap pembelaan terhadap kaum marhaen ini. Hidup bersama adalah bagian dari proses untuk mengadakan pembelaan kepada kaum marhaen. Karena pembelaan itu berasal dari hati bukan rasio.

Kondisi Kekinian

Saat ini kita sering mendengar kata Profesional. Semua pekerjaan harus dilakukan secara professional. Apakah arti professional? Bagi saya professional adalah pekerjaan harus dihargai dengan bayaran/balas jasa/upah. Pekerjaan mulia seperti guru yang bertugas untuk mencerdaskan kehidupan berbangsapun harus professional, dan seterusnya.

Bukan berarti saya menolak profesionalisme ini. Tetapi jika ini yang terus menerus dikampanyekan kepada masyarakat maka tiap – tiap masyarakat hanya akan mengerjakan sesuatu atas dasar imbalan yang sebenarnya hanya berjangka pendek. Meskipun saya tidak menyesampingkan kebutuhan sehari – hari tiapmanusia.

Berikut ini saya berikan gambaran pembunuh professional. Suatu ketika seorang pembunuh bayaran (A) disuruh oleh B untuk membunuh C. Sebagai tanda jadinya maka B memberikan uang muka kepada A. A harus mampu menunjukkan mayat C berupa foto kepada B. Kemudian A dating ke C, tetapi C kemudian meminta A untuk membunuh B dengan bayaran yang lebih besar dan langsung dibayar. Maka diterimalah bayaran dari C oleh A. Tetapi kemudian A langsung membunuh C dan memfotonya untuk dilaporkan kepada B. Sesampainya di B, A mendapatkan bayaran lagi karena berhasil membunuh C. Setelah itu B dibunuh A, karena C membayar A untuk membunuh B juga.

Itulah gambaran singkat tentang profesionalisme. Kita disuruh bekerja sesuai dengan keahlian kita dengan bayaran yang sepadan. Apakah sikap yang demikian tersebut yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia yang dalam kondisi krisis seperti ini? Tentu tidak. Lalu seperti apa?

Passionate dan Compassionate

Belajar dari semangat Jerman setelah kekalahan dalam Perang Dunia kedua. Jerman tidak pernah berkampanye tentang Profesionalisme tetapi Passionate bekerja dengan sepenuh hati. Warga Negara Jerman harus bekerja dengan sepenuh hati untuk mengembalikan Jerman sebagai bangsa yang besar, bangsa yang dihormati oleh Bangsa – bangsa lain.

Kiranya semangat yang demikian itulah yang harus kita kembangkan hari ini semangat Passionate. Semangat untuk bekerja ditempat dimana hati kita nyaman dan sesuai dengan keinginan kita. Karena dengan bekerja sepenuh hati, rasanya bekerja bukanlah beban tetapi mengasikkan.

Selain iitu kita harus bekerja dengan prinsip Compassionate, bekerja dengan prinsip – prinsip keberpihakan. Berpihak kepada mereka yang selama puasa ini kita belajar hidup (menyemakan rasa) yakni mereka yang papa.

Keberpihakan ini dibutuhkan oleh kita semua untuk segera keluar dari Krisis. Untuk segera memperkecil angka Indeks koefisiensi Gini (IKG) yang saat ini mencapai 0,41%. Angka yang sungguh mengejutkan, karena angka tersebut sangat rentan dengan kerusuhan social.

Keperpihakan sendiri akan mampu mengangkat Angka Keikutsertaan Pendidikan (5,5 tahun). Warga Negara yang tidak mampu menyekolahkan anaknya sebagian besar disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan (Inflasi pendidikan Indonesia 27%/tahun).

Keperpihakan juga akan mengangkat 49% rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan (2$/hari, data WB 2011). Karena dengan keperpihakan tersebutlah kita akan menjalankan Manifesto Sosial (Puasa), untuk menggerakan roda ekonomi Mikro, Kecil dan Menengah. Kita akan menjalankan Manifesto tersebut untuk biaya pendidikan dan kesehatan bagi kaum marhaen.

Inilah bangunan awal dari Manifesto Sosial (Puasa) yakni membangun Karakter untuk berpihak kepada mereka yang terpinggir, tergusur, miskin, papa tanpa memandang Suku Agama Ras dan Adat – Istiadat karena sesunggunya Islam itu Rahmatan Lil Alamin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline