Tindakan brutal suporter timnas atas Thailand segera menimbulkan kehebohan di dunia maya. Banyak netizen dari luar mengutuk aksi memalukan itu.
"Thailand tidak pernah berbuat seburuk kalian".
"Dua bulan setelah Kanjuruhan dan kejadian seperti ini masih saja terjadi. Kapan para toxic fans Indonesia belajar? Kapan PSSI belajar? Mereka harus segera bertindak bersama atau orang-orang AKAN terluka, dan Liga 1 mungkin akan mengadakan pertandingan secara tertutup untuk waktu yang lama".
"Fans Indonesia tidak pernah belajar dari kesalahan masa lalu mereka. Tidak ada gunanya memprovokasi lawan, terutama setelah pertandingan".
Itulah komentar-komentar netizen dari luar yang geram dengan aksi itu. Apa yang diperoleh sepak bola Indonesia dari peristiwa, tak lain tak bukan: rapor merah sepak bola Indonesia. Tindakan provokatif ini hanya menambah daftar buruk sepak bola Indonesia.
Benahi Manajemen Pengamanan
Kutukan-kutukan bernada geram terhadap suporter sepak bola Indonesia, apalagi dari luar, cukup dapat dipahami. Tetapi bagi kita, suporter dalam negeri, kutukan 'menyalahkan' suporter saja, menganggap mereka biang masalah, tak akan mengubah banyak hal. Saatnya kritik kita diarahkan untuk menemukan pangkal masalah utamanya. Sebab itu, kritik sekedar dilayangkan kepada suporter saja saat ini tidak lagi cukup.
Pangkal masalahnya ada di tubuh PSSI. Kita tak berbicara orang per orang, melainkan sebuah peran kolektif dari induk organisasi sepak bola nasional tersebut. Kita berkesimpulan demikian sebab sejatinya masalah kisruh sepak bola, kisruh suporter adalah hal yang sudah berulang-ulang. Kekisruhan itu selalu ada, dan seakan diabaikan. Apa untungnya? (Kita tak tahu, mungkin ada bagi segelintir orang).
Dengan kisruh yang berulang-ulang, mestinya PSSI bisa belajar banyak. Kekisruhan itu tidak terjadi secara spontan, selalu ada hal-hal yang menjadi hal yang mentrigger masalah. PSSI mestinya sudah bisa mempelajari pola-pola yang bisa mentrigger kerusuhan supaya nanti memiliki strategi mitigasi yang tepat. Dalam hal itu, pasti ada pihak-pihak yang bisa kita sebut sebagai provokator. Sebuah aksi atau kekisruhan tidak mungkin terjadi begitu saja, tanpa diawali oleh provokasi. Nah, tidakkah PSSI telah memiliki kemampuan mengendalikan provokator?
Konfederasi Inggris punya cara khusus mengatasi soal provokator ini. Yakni dengan cara berbaur dengan suporter, melakukan pemantauan dari dekat, dan meringkus pihak-pihak yang dinilai melakukan provokasi. Selain itu, ada manajemen suporter yakni dengan cara mendatabasekan para suporter sehingga dikenali wajah-wajah suporter dan mengatasi adanya provokator. Strategi ini efektif sebagai upaya preventif sehingga eskalasi kericuhan dapat segera diredam di antara suporter. Indonesia memang bukan Inggris. Tapi Indonesia punya ultras yang mungkin sedikit punya kesamaan dengan hooligans.
Menerapkan Strategi 'Stick and Carrot'.
Suporter sepak bola Indonesia -- baik di tingkat klub dan timnas, terwadahi dalam sebuah kelompok-kelompok yang di dalamnya mesti memiliki sosok yang dianggap sebagai pentolan. Dalam konteks ini, suporter PSSI mesti bisa menjalankan strategi merangkul (memberi reward) dan menghukum sekaligus. Kita ingat apa yang disebut dengan strategi 'stick and carrot' (wortel dan pentungan). Yakni sebuah kombinasi kepemimpinan antara memberi reward (penghargaan) dan punishment (hukum) sebagai cara mempengaruhi atau mengendalikan mereka (suporter).
Dalam aplikasinya, PSSI bisa mendorong dan merangkul mereka, memberikan perhatian besar kepada para seluruh suporter sepak bola Indonesia, mensupport mereka. Poin pentingnya, mereka benar-benar ditempatkan sebagai pihak yang sangat penting bagi sepak bola Indonesia. Poinnya, PSSI dapat mengayomi sebaik mungkin suporter sepak bola kita sejauh mereka mau bertindak kooperatif dan punya komitmen mendukung secara sportif sepak bola Indonesia.