Lihat ke Halaman Asli

Minke

Diperbarui: 24 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Minke kau turut andil dalam kehidupanku. Sayangnya yang kau jual ke tokoh daging di pasar jajakkan. Membuat aku menjual diriku demi menghargaimu atas kehadiran naluri perempuanku.

Malam kini telah menjadi abu yang melayang dan membusuk di dalam mataku yang mulai berkunang-kunang diantara iklan dan spanduk jalanan. Aku punya ibu yang sudah tua minke. Berikanlah aku janjimu yang membuat aku bisa menanam benih ke dalam tanah yang kuinjak dari sejak kecil.

Kini Minke. Tanah yang kulihat begitu indah, telah menjadi gedung yang setiap hari memandangku dan melecehkanku. Apa kamu sadar dengan perlakuanmu yang selalu kupuji dan hingga kini matamu membengkak mengurus perihal lain dikarenakan kurang tidur. Sebut saja lagu yang kau nyanyikan bukan untukku, namun untuk anak istri dan para sahabatmu yang selalu menyapu dan mengepel lantai yang dibangun para pahlawan terdahulu. Kini darahnya sudah tidak menjadi kental dalam darah dagingku.

Aku lihat kemarin, saat aku berjalan di pinggiran kota Jakarta tepatnya di pertokoan  buku yang sering didatangi mahasiswa yang sangat kupuji dedikasi dan otaknya  untuk negeri ini. Aku melihat wajah dan senyummu Minke sambil mengakat tangan dan menyapaku dengan ramah dari balik kaca yang disapu cahaya dikala sore itu.

Aku mulai berpikir lagi Minke, saat aku menulis surat ini untukmu. Apakah kamu pernah berpikir, apakah kamu membuat jejak sejarahmu untuk diriku ini. Mungkin biaya buku yang laku di seluruh Indonesia yang kamu jual bisa membiayai kami dari jerat daging kecil yang kami jual, bahkan semangat kami yang kami beli untuk memiliki barang mewah. Kami merasa menjadi korban iklan dari negeri ini.

Aku berdoa dan berharap ada bagian keuangan dari pihakmu untuk menjenguk kami di tanah becek di pinggiran Jakarta ini, mungkin aku pikir aku tidak tahu berada dimana untuk saat ini Minke. Apakah aku dijakarta atau dinegeri lain yang semua orang rela membuatku seperti ini. Uang dan kedudukkan yang bisa menundukkan kami untuk pulang kekampung. Meminta jasa preman pernah terbesit dari pikiranku, namun aku takut. Preman juga membutuhkan uang untuk melaksanakan tugasnya. Bisa saja aku malah dimanfaatkannya Minke.

Minke, tolong kau kirim ajudanmu bahkan wakilmu untuk menyelamatkan kami dari jerat orang lain dan diri kami sendiri. Tolong Minke, kami berjanji akan mencari kehidupan yang lain untuk kehidupan kami yang lain. Aku sudah bosan dengan kenikmatan yang kubuat. Kenikmatan yang membuat  hidup ini semakin diumbar dari uluh pusaran hingga ke hilir yang tiada habisnya dikekang dan dijadikan barang objektifitas kemeriahan.

Aku masih berharap bukumu benar-benar untuk membiayai kami dari kehidupan yang serba rumit ini. Andai saja, surat ini akan kukirim secara terang-terangan yang menuju alamatmu secara jelas. Andai saja perlombaan surat untukmu bukan untuk anak kecil dan remaja sma ataupun mahasiswa. Aku akan lebih berani untuk menemuimu. Andai saja dibalik asrama penampungan kami ini dikenalkan dengan media social twitter, mungkin saja aku sudah menjadi followermu yang setia. Kamu saja yang tidak mengetahui keberadaanku sejelasnya. Dirimu minke yang pertama kali akan aku follow untuk kejelasan masalah hidupku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline