Bab 7: Pertempuran di Perkampungan Nirwana
Teriakan perang menggema di udara, menggetarkan hati setiap jiwa yang berdiri di tanah Lembah Nirwana. Para penjaga desa mencabut senjata mereka—tombak dan pedang bersinar di bawah cahaya bulan yang pucat. Sementara itu, pasukan Gugusan Hitam, seperti bayangan neraka yang menyebar, maju dengan tatapan haus darah.
Sejenak, hanya suara angin yang berdesir di antara mereka.
Lalu, ledakan pertempuran pecah.
Para penjaga berteriak lantang saat mereka menyerbu pasukan Gugusan Hitam, yang membalas dengan keganasan yang sama. Senjata beradu, percikan api melompat dari benturan logam ke logam.
Raksa mengayunkan tongkatnya dengan cepat, menangkis serangan pertama dari seorang lawan bersenjata rantai berduri. Dengan langkah ringan, ia berputar dan menendang dada pria itu, membuatnya terhuyung ke belakang. Namun, tak ada waktu untuk bernapas—seorang pria bertopeng dengan dua belati melompat dari atap rumah menuju dirinya.
Raksa berusaha menghindar, tapi serangan itu terlalu cepat. Ia mengangkat tongkatnya sebagai perisai, namun tahu ia tak akan cukup cepat menangkis kedua belati itu.
Seketika, sebuah tombak melesat dari samping, menembus dada pria bertopeng itu. Ia terhenti seketika, darah menetes dari mulutnya sebelum tubuhnya jatuh ke tanah.
Raksa menoleh dan melihat seorang penjaga tua, wajahnya dipenuhi luka-luka lama, mengangguk padanya.
"Fokuslah, Nak!" teriaknya sebelum kembali menebas lawan dengan ayunan tombaknya.
Sementara itu, di tengah kerumunan yang saling bertarung, Ki Sancaka bergerak seperti bayangan yang sulit ditangkap. Ia menghadapi tiga lawan sekaligus—pria-pria berotot dengan golok besar. Namun, setiap serangan mereka meleset, seperti mencoba menangkap asap. Dengan gerakan yang tenang dan terukur, Ki Sancaka menghindari setiap tebasan, lalu membalas dengan satu serangan telapak tangan yang menghantam dada lawannya.
Seorang lawan langsung jatuh ke tanah, tak bergerak. Dua lainnya saling pandang, menyadari bahwa mereka menghadapi seorang pendekar sejati.