Bali-kah Aceh?
Oleh: Ade Akhmad Ilyasak Chaniago mantan pekerja tsunami response team dan peserta Sekolah Demokrasi Aceh Utara
Bali dan Aceh adalah dua buah destination (Daerah tujuan Wisata) yang sama-sama punya kekuatan magis budaya yang kuat.Kesuksesan Bali dalam meraup dollar maupun rupiah dari sektor Pariwisata belum ada duanya di Nusantara, hal ini menerbitkan tanya kita semua apa yang membuat Bali mampu menyihir mata Warga Dunia? Mengapa Warga Dunia begitu terpikat dengan budaya pariwisata di Bali?Bahkan Bali konon lebih terkenal dimata dunia dibandingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menaunginya?Mengapa???
Kekuatan budaya dan keramahan rakyatnya.
Penduduk Bali menurut catatan sejarah adalah segelintir warga Majapahit yang tersingkirkan ke pulau terpencil (Bali) setelah masuknya peradaban Islam yang menggantikan kejayaan Majapahit menjadi kesultanan Demak dan Mataram (Kediri) di Jantung Majapahit lama. Masyarakat yang memegang teguh budaya hindu lebih memilih Hijrah ke Timur hingga menetap di Pulau Bali karena Pulau Madura pada akhirnya juga diinfiltrasi budaya Islam yang disyiarkan oleh Sultan Agung termasuk didalamnya kekuatan penyebaran ajaran Islam didukung oleh sepak terjang Wali Songo. Menurut M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern disebutkan, pengaruh Sultan Agung juga tidak hanya terbatas di Jawa dan Madura saja, pada tahun 1622, dia telah menaklukkan Sukadana (tak heran jika kini masih dapat kita temui perkampungan Hindu Bali di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat).
Ajaran Budaya Hindu yang dibawa oleh penganut setianya ke pulau Bali mencapai masa keemasannya pada abad XVI. Kerajaan Gelgel dari Bali mendominasi seluruh Bali dan distrik hingga Lombok dan Sumbawa, (sebelum diserang oleh Kerajaan Makasar dan Suku Bugis yang kala itu belum menganut agama Islam. Baru pada 1605, raja Gowa memeluk Islam). Kekuasaan Kerajaan Gelgel atas berbagai kerajaan kecil di Bali tidak membuat mereka terkucil dari peradaban dunia, mereka juga memiliki sejarah perdagangan dengan pedagang Eropa dan Asia Selatan lainnya.Secara antropologi keharmonisan menjamu tamu dunia sedikit terusik dengan penerapan aturan yang disebut Tawan Karang, yang memberi hak mutlak kepada kerajaan yang memiliki garis pantai terhadap kapal-kapal niaga asing yang karam di zona laut kerajaan tersebut, hal ini sedikit mengusik “kenyamanan” Portugis dan pedagang eropa lainnya yang kebetulan kapal-kapalnya karam di perairan Bali. Puncak dari ketidak senangan raja Bali kala itu ketika Misi Portugis yang ingin menanamkan pengaruhnya di Bali dengan mempererat hubungan dagang antar Negara di cederai dengan insiden “Cepika-Cepiki” (Kecup pipi Kanan dan Kecupan di pipi kiri) utusan Portugis kepada permaisuri raja Bali. Hal inilah yang memicu peperangan besar di Bali dengan Portugis membela harga diri sang Raja Bali.
Para antropolog Barat belajar banyak dari “cidera budaya” akibat ketidakpekaan Portugis terhadap penghormatan budaya lokal. Sepanjang kenyamanan berbudaya terpenuhi, terbukti hingga kini Bali tak pernah bergolak kembali. Hindu Bali yang mayoritas mampu menerima perbedaan dan keberagaman tidak terdapat tirani mayoritas di Bali, nilai toleransi ini terpelihara sejak beratus-ratus tahun yang lalu membuat Bali menjadi tempat yang nyaman buat siapa saja, sepanjang tidak mengganggu keharmonisan budaya lokal (Hindu Bali). Keunikan budaya hindu (Genuine) dipadu dengan keramahtamahan masyarakatnya dalam melayani tamu serta tentunya keindahan geografis yang strategis (persilangan lalu lintas dunia antara Philipina – Australia, Amerika - Australia, Australia- Eropa dll) membuat Bali menjadi tujuan wisatawan yang hangat meski dikunjungi warga dunia yang sangat heterogen di dunia.
Visit Banda Aceh Year’s
Bagaimana dengan Aceh? Aceh yang kita kenal juga punya “kekuatan magis budaya” yang sangat kental dipengaruhi dengan ajaran Islam yang seharusnya bersifat inklusif (rahmatan lil alamin) bukannya eksklusifmeski Islam adalah kalangan mayoritas di sini. Kearifan dalam menerima perbedaan sedang mendapatkan ujian yang berat bagi harmoni hubungan horizontal sesama warga Aceh sendiri. Terbukti perbedaan pandangan dalam menjalankan norma agama dan kepercayaan saja menjadi masalah besar yang seolah tak dapat didialogkan dan cenderung pada akhirnya memenangkan dukungan mayoritas yang lebih populis. Namun jika kita coba untuk introspeksi kedalam diri kita masing-masing sejatinya, sudahkah kita masuk kedalam Islam secara Kaffah dan menjadikan Islam sebagai way of life kita yang memancarkan perilaku Islam adalah rahmatan lil alamin?
Sejujurnya terkadang dalam menjalankan syariat Islam kita masih saja mengabadikan warisan budaya Hindu dalam perilaku kehidupan kita sehari-hari. “Negara-negara (Wilayah-wilayah) baru di Indonesia yang menganut agama Islam bukan hanya menciptakan dinasti-dinasti dan kerjaan-kerajaan baru saja, tetapi juga sebuah warisan budaya yang beragam. Beberapa diantaranya adalah benar-benar baru, yaitu warisan yang bersemangatkan Islam, tetapi sebahagian besarnya mempunyai akar yang kuat pada kebudayaan pra-Islam juga (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 M.C. Ricklefs).” Berbagai kenduri laut, turun kesawah, budaya turun tanah yang berakulturasi dengan nilai-nilai prosesi penabalan nama dan akikah anak kita, Peusijuk toko yang menyematkan sajenan pada perangkat pencari nafkah, Kenduri di makam keramat dan lain-lain yang merupakan peninggalan Hindu Dharma masih juga kita praktekkan dan bahkan menjadi kebanggaan “Budaya yang Islami.” Sementara disisi lain kita mengharamkan pemahaman beragama yang berbeda yang hadir ditengah-tengah kita, seolah kita sudah sangat yakin bahwa way of life keislaman kitalah yang paling benar dan akan membawa kita kedalam Syurga nantinya.
Dulu, saya pikir karena seseorang itu kurang pendidikan-kurang ilmu pengetahuan- tak sempat mengenyam dunia sekolah yang tinggi karena alasan apa pun (umumnya biaya), mungkin perilakunya jadi kurang terpuji. Tetapi nyatanya, sempat saya dipertemukan dengan orang-orang yang kurang pendidikan-tak makan bangku sekolahan- nyatanya punya sikap hidup terpuji, mulia, luar biasa…
Bahkan lebih bisa dipuja ketimbang mereka yang bergelar S1, S2, bahkan S3…
Ini memang kisah nyata…
Karakter yang baik tak melulu berbekal ilmu belaka…
Alamsyah (39) penarik Becak bermotor di Kota Lhokseumawe mengingatkan saya bahwa, dalam penciptaan langit dan Bumi saja Allah SWT memadukan beragam perbedaan menjadikannya sebuah keharmonisan. Lantas mengapa kita sebagai makhlukNya justru tidak siap dengan perbedaan tersebut? Diciptakan manusia itu berpuak-puak (bersuku-suku) tak lain agar kamu saling kenal mengenal ternyata tidak kita adopsi dalam perilaku keseharian.
Hal ini seiring dengan buku yang pernah saya baca: “Al-Qur’an & Hak-Hak Asasi Manusia,”1996 Prof. Dr. H. Baharuddin Lopa, S.H. hal. 85-86 menyebutkan tentang Hak Kebebasan Memilih Agama: “Sesungguhnya Islam merupakan agama yang sangat menghormati kebebasan induvidu. Seseorang akan menjadi beriman atau tidak merupakan urusan Allah sebagai pemberi hidayah. Karena itu Allah SWT hanya memerintahkan untuk menyeru dengan memberikan dakwah tentang agama-Nya yang hak, tanpa boleh memaksa dengan kekerasan,” seperti ditegaskan dalam surah Al_Kahfi ayat 29:”Kebenaran itu datangnya dari tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah ia kafir…”
Selanjutnya berbicara mengenai aspek-aspek kebebasan beragama, beberapa hal yang perlu diperhatikan: -Kebebasan untuk memilih agama,kebebasan bertukar pikiran dalam masalah agama, yakin terhadap agama yang dianut sebagai syarat sahnya iman dan, kebolehan berijtihad. Dalam hubungan ini perlu diperhatikan firman Allah dalam surh Yunus ayat 99 yang berbunyi: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?”
Jika kita memang telah yakin menempa generasi muda kita dengan keislaman yang kaffah maka sejatinya generasi penerus kita akan menjadi emas murni yang tak akan berubah menjadi Loyang meski suatu saat dia tergelincir kedalam dusta dan noda.
Kecuali jika selama ini kita menempa anak cucu kita sebagai Loyang yang disepuh emas maka wajar jika keindahan simbolik yang bersifat kosmetik pada diri anak cucu kita akan luntur dengan mudahnya diterpa godaan dan cobaan sehingga membuat mereka terjebak dalam dusta dan noda.
Berbicara soal pariwisata ketika teman saya yang berasal dari Georgia (USSR dahulu) ke Aceh dua tahu lalu, sebelum tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, cerita tentang Tsunami dan kejayaan budaya Islami di Aceh menarik minatnya berkunjung, sebagai mu’alafia minta disiapkan seperangkat Jilbab dan orang yang dapat menuntunnya dalam mengenakan jilbab tersebut di bandara. Tanpa dinyana ketika kami tiba di simpang Surabaya menuju simpang Lima, justru dia melihat kaum muslimah berpenampilan modis layaknya di Jakarta. Ada yang tertutup diatas namun terbuka dibawahnya, ada yang tertutup seadanya diatas namun ketat dan transparan di badan dan busana bawahnya, Astaga naga!Kesimpulan singkatnya dia tidak menemukan perilaku Islami di Aceh mungkin tertinggal di dalam buku-buku sejarah yang dia baca sebelum tiba di Aceh, katanya setengah bertanya.
Diparuh kehidupan saya yang lainnya, sebagai salah seorang tenaga Tsunami response team, saya berpeluang mendapatkan fasilitas bepergian dengan berbagai penugasan, koordinasi, capacity building, comparative study dll ke Jakarta dan ke manca Negara tak ubahnya bagai perjalanan dengan labi-labi dari penayong ke simpang Surabaya saja. Pada salah satu perjalanan dinas tersebut saya di kejutkan dengan sapaan akrab (kalau tidak mau disebut ganjen) dari seorang wanita belia di bangku belakang saya. Ketika memasuki kabin pesawat udara, seingat saya hampir semua penumpang wanita mengenakan busana muslim yang sungguh indah dan memenuhi standar akidah. Namun hanya berselang lima menit penataan bagasi masing-masing penumpang, pemandangan di dalam kabin penerbangan domestik ke Jakarta berubah 180 derajat! Terlihat hanya segelintir penumpang wanita yang masih memakai busana muslimahnya, masya Allah. Salah satu dari mereka membuat saya sangat pangling, karena ternyata dia adalah sebut saja Nur Azizah yang sehari-hari berbusana muslimah dan di kantor tak pernah alpa beribadah ke Mushola, teman sekantor saya Tsunami response team juga. Setiba di Jakarta, bagaikan pramuwisata yang baik dia langsung mengenalkan Jakarta kepada saya (seolah saya baru pertama sekali ke Jakarta). Mungkin karena di kantor saya, termasuk orang yang terakhir yang mendapat giliran manfaatkan berbagai fasilitas kunjungan luar dengan berbagai penugasan dan peningkatan kapasitas tadi. Setiba di Jakarta pihak kantor Nasional telah dengan rapi mengatur segala urusan transportasi dan akomodasi kami. Setiba di hotel Nur Azizah justru mengajak saya untuk menemaninya wisata belanja dan dugem ke beberapa tempat hiburan yang bertabur di Jakarta Barat, ternyata pengunjung yang di jumpainya juga kebanyakan warga Aceh Asli baik yang sudah lama tinggal di Jakarta maupun yang kebetulan berkunjung disana. Saya terpaksa meninggalkan hiruk pikuk aktivitas Nur Azizah karena sudah banyak lelaki Aceh yang sangat welcome menyambutnya di salah satu diskotik ternama tersebut. Dengan menggeleng-gelengkan kepala saya pun kembali ke hotel tempat kami pelatihan esok harinya.Pada Pelatihan Jurnalistik bagi Humas perusahaan dan Internasional NGO hari pertama seperti biasa diawali dengan perkenalan masing-masing peserta dan sekilas penjelasan aktivitasnya, saya langsung di hadapkan oleh dua pertanyaan tentang apa itu Aceh Pungo dan Apa itu Tipu Aceh. Penanya mengaitkan issue Aceh Pungo dengan ketidak tertiban masyarakatnya dalam berlalu lintas. Beliau berasal dari perusahaan Swasta terkemuka di Medan pernah berkunjung ke Aceh dan merasakan sendiri ketika berhenti dilampu merah justru dimaki oleh pengendara dibelakangnya (bermobil mewah berplat Merah) agar tetap berjalan meski lampu sudah merah. Pertanyaan kedua dia kaitkan soal tipu Aceh dengan pengalamannya menikmati restoran cepat saji tradisional yang menerapkan “Matematika Cepat ala Tengku Aceh” yang terbukti tidak akurat penghitungannya dan cenderung merugikan costumer.
Secara diplomatis saya menjawab bahwa akar sejarah timbulnya stigma Aceh Pungo itu adalah berasal dari kegigihan (kegilaan) para syuhada Aceh yang dengan gagah berani menentang kecanggihan persenjataan musuh dengan berbekal taktik Gampong dan Mukim mengepung kota dan fanatisme agama melawan Kafee Belanda. Sedangkan Akar sejarah timbulnya istilah tipu Aceh sejatinya berasal dari kecerdikan Teuku Umar yang diberi gelar Johan Pahlawan oleh Belanda, justru kembali berjuang dengan lebih gigih hingga syahidnya dikhianati oleh (Cuak) bangsanya sendiri. Tipu muslihat Teuku Umar inilah yang diabadikan oleh Belanda sebagai nilai antropologis yang membawa pesan sejarah paling berharga bagi Belanda agar berhati-hati dengan “Tipu Aceh.”
Pada kesempatan yang lain ketika mengambil cuti ke Medan, saya menaiki bis malam dari Banda Aceh menuju Medan peristiwa yang nyaris sama saya temui. Tatkala bus Pelangi melewati Tugu Commodore memasuki kota Langsa, suasana bis berubah menjadi hiruk pikuk ketika penumpang lelaki pindah kursi menghampiri penumpang perempuan yang kini telah berganti busana trendy tak lagi tertutup rapi. Ternyata mereka pasangan non muhrim yang sama-sama berangkat ke Medan buat weekend ke provinsi tetangga.
Kita berbangga hati pemerintah Kota Banda Aceh di ujung Tsunami Dollar yang mengikuti derasnya Tsunami dan gempa bumi di Aceh, setahun ini menggelar hajatan besar bertajuk tahun kunjungan wisata Islami di Banda Aceh. Namun dengan berbagai kondisi ketidaksiapan mayoritas warga Aceh mampukah Pemerintah Kota Banda Aceh memaksimalkan pengembalian modal dan ongkos sosial yang ditimbulkan dalam mendukung program Visit Banda Aceh Year’s?
Atau haruskah Aceh menjadi Bali agar angka kunjungan wisata manca negara menjadi tinggi? Haruskah Aceh memerbanyak kawasan yang mirip Sabang dan Sinabang agar para wisatawannya merasa nyaman layaknya berwisata di pantai Kuta?
Sayangnya dalam kolom penulisan artikel yang sempit ini akan sangat sulit menyadarkan masyarakat Aceh agar dapat mendukung kebijakan visit Banda Aceh Year’s. Setidaknya menurut Roem Topatimasang dalam pelatihan Merubah kebijakan Publik yang telah dibukukan menjadi buku Merubah Kebijakan Publik, 20 Mei 2000 menyebutkan salah satu kerangka analisis yang berguna untuk memahami suatu kebijakan public adalah dengan melihat kebijakan tersebut sebagai suatu “system hukum’ (System of Law) yang terdiri dari Isi Hukum (Content of Law); Tata-Laksana hukum (Structure of Law) dan bagaimana Budaya hukum (Culture of Law) di masyarakatnya.Karena, dalam kenyataannya perubahan yang terjadi pada salah satu aspek saja tidak dengan serta merta membawa perubahan pada aspek lainnya (Memahami Kebijakan Publik, halaman 41).
Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar mengatakan, empat syarat mutlak untuk mewujudkan pembangunan yang kini sedang dijalankan di Aceh, di antaranya kedamaian, peraturan dan perundang-undangan, anggaran yang tersedia, serta sistem tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
“Untuk mewujudkan pembangunan di Aceh, keamanan dan kedamaian merupakan faktor penting yang harus terjadi, karena konflik yang berkepanjangan yang telah melanda Aceh beberapa waktu telah menciptakan kebodohan, keterbatasan sumber daya manusia, serta rusakanya social cultur internal masyarakat,” kata Muhammad Nazar dalam pertemuan dengan unsur Muspida dan tokoh masyarakat Aceh Timur di Pendapa Peureulak, Senin (30/3). (http://m.serambinews.com/news/view/1307/wagub-paparkan-syarat-wujudkan-pembangunan).
Akhirnya, mari perkuat terus semangat mencari solusi ala demokrasi di berbagai ruang diskusi. Berdemokrasiyang berbudi pekerti dalam mencari solusi, emang bikin bangga! ###
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H