Lihat ke Halaman Asli

Ipso Facto: Kecerdikan Indonesia Dikeroposkan Inferioritas

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13565796861728308254

[caption id="attachment_231661" align="alignnone" width="564" caption="Konferensi Meja Bundar, salah satu sejarah diplomasi Indonesia"][/caption]

lekas, bangun dari tidur berkepanjangan

menyatakan mimpimu

cuci muka biar terlihat segar

merapikan wajahmu

masih ada cara menjadi besar

(Menjadi Indonesia, Efek Rumah Kaca)

Tahun 1950 adalah tahun yang baru bagi rakyat indonesia pada masa itu terkait dengan posisi politik negara. Bagaimana tidak, empat hari sebelumnya tepatnya tangal 27 Desember Belanda bisa dikatakan kalah dalam perjuangan panjang rakyat Indonesia. Pada 27 Desember 1949 diselenggarakan upacara pengakuan kedaulatan (soevereiniteitsoverdracht) di dua tempat sekaligus, Indonesia dan Belanda. DI Istana Op de Dam, Amsterdam, dilakukanoleh Ratu Belanda Juliana kepada Perdana Menteri Indonesia, Mohammad Hatta. Sedangkan di Jakarta, Istana Rijswijk yang sekarang namanya Istana Merdeka, Belanda diwakili Mahkota Agung Belanda Tony Lovink kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Meski pun secara politis Belanda selalu mengatakan bahwa kedaulatan Republik Indonesia diberikan oleh Belanda pada tahun 1949 dan seharusnya pada saat itulah Indonesia merdeka, percayalah, saya hanya bisa tersenyum melihat bagaimana hasrat kuasa Belanda pada Indonesia membuat sebuah negara terlihat sebegitu angkuh. Membincang keangkuhan, Indonesia hari ini begitu angkuh di depan Indonesia sendiri. Lebih spesifik, penguasa yang lebih angkuh di depan rakyat dari pada di depan negara lain. Ya, yang lainnya angkuh dengan membangga-banggakan sejarah. Kata mereka itu nasionalisme. Masih relevan membincang nasionalisme hari ini? Nasionalisme yang mana? Entahlah, saya tak bisa menjawab pertanyaan ini. Saya kelewat bebal untuk menafsirkan Kahin atau Benedict Anderson dengan Imagine Community-nya. Benedict Anderson dan Imagine Community-nya membuat saya jadi teringat bagaimana nasionalisme itu dibentuk. Secara panjang Ben (saya berusaha akrab dengannya dalam dunia khayal) menjelaskan bahwa negara sebagai kolektivitas politik membentuk rasa nasionalisme melalui mitos-mitos, sejarah yang dipotong-potong, rasa senasib-sepenanggungan sampai membuat gradasi dalam perhitungan waktu penguasa. Jamak orang pasti tahu di beberapa kota ada penamaan kota baru, kota lama, pasar baru atau pasar lama. Pembentukan baru dan lama itu seperti pembatasan waktu dalam wujud tata ruang. Ya, ruang yang dilabeli 'baru' tersebut menjadi petanda bahwa secara geografis, Indonesia telah mempunyai hak untuk menama-namai tempat di area-nya sendiri. Dalam kata lain, Indonesia sudah mempunya hak kemerdekaan dan kemudian itu direbut oleh kolonialisme. Hak kemerdekaan itu bukan kami rebut. Tapi kami ambil kembali. Ya, karena Indonesia yang pintar sekali mencuri waktu pada tanggal 17 Agustus 1945 memenangkan klaim emerdekaannya. Seperti Soekarno yang mencuri waktu bercinta di perpustakaan Cokroaminoto dengan anak pemilik perpustakaan itu Indonesia menang dengan cerdas. Belanda sebagai negara Eropa yang paling terbelakang waktu itu bersikeras untuk tak melepaskan Indonesia. Tanpa malu mereka terus saja mengirimkan tentaranya ke Indonesia. Seperti seorang anak kelas 6 SD yang sudah kalah berkelahi dengan anak kelas 4 SD namun tetap gengsi karena kelasnya lebih tinggi. Ya, seperti itulah Belanda dulu: terbelakang dan kekanak-kanakan. Saya bukan tanpa fakta bicara kalau Belanda itu negara yang terbelakang. New York yang sekarang kita ketahui itu adalah New Amsterdam yang awalnya direbut oleh Inggris sebelum kemudian memerdekakan diri. Selain itu pendidikan masyarakat Belanda baru akan ditingkatkan pada akhir abad 19, dimana sedikit sekali anak Belanda yang mengikuti sekolah formal waktu itu. Data rigidnya saya agak lupa, tapi bisa pembaca cari di sejarah bagaimana Belanda bisa lengah waktu dengan Indonesia. Bersikerasnya Belanda itu kemudian berlangsung sampai pada akhirnya Belanda tak ingin terlihat kalah secara kekuatan, baik militer atau pun intelektual, maka mereka mengatakan akan menyerahan kedaulatan penuh pada rakyat Indonesia. Menyerahkan adalah kalimat politis yang menyatakan bahwa Belanda-lah yang memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Namun peduli setan dengan kekanakan itu, Indonesia berusaha memelihara perdamaian dengan bangsa-bangsa lain. Bicara soal hubungan dengan bangsa-bangsa lain saya tak pernah lagi mengenal siapa saja diplomat Indonesia hari ini yang seperti Hatta, Sjahrir atau bahan Agus Salim yang mempunyai kemampuan diplomasi hebat. Ya, 27 Desember bisa dikatakan diplomasi Indonesia menang, meski pun Belanda sampai hari ini bersikeras bahwa kita merdeka pada tahun 1949 tapi yang benar saja, mereka itu siapa mengatur-ngatur kapan kita merdeka. Toh, kita sudah berhasil mencuri waktu dari mereka. Mereka yang saya maksud disini buan hanya Belanda. Karena jelas waktu 17 Agustus 1945 yang sedang menjajah Indonesia adalah Jepang. Tapi terkait dengan 27 Desember, adalah Belanda yang tanpa malu masuk, setelah Jepang mundur dari Indonesia. Setelah 17 Agustus 1945 dan 27 Desember 1949 dengan cerdik Indonesia mengalahkan negara asing. Saya selalu bingung, kumpulan manusia bersepakat membentuk institusi besar bernama negara dan manusia itu kemudian jadi berbeda secara politis dengan negara lain, tapi buan itu yang ingin saya katakan. Tulisan saya mungkin menjadi salah satu 'materi' yang membentuk mitos nasionalisme yang dikatakn Ben Anderson, tapi begini, ada hal-hal yang kemudian saya rasakan hilang dari Indonesia, salah satunya adalah bagaimana kuatnya diplomasi Indonesia keluar. Terkait dengan hal tersebut saya mendengar bahwa pendaftar lowongan kerja di Kementrian Luar Negeri pada awal September lalu menngkat tajam. Hal ini memperlihatkan bahwa banyak generasi hari ini yang ingin mencoba bergabung mengaduk adonan yang bernama Indonesia dan Globalisasi. Tapi entahlah, saya masih tetap pesimis. Kepesimisan saya bukannya tak beralasan tapi setidaknya ada dua hal yang membuat saya pesimis akan relevansi antara meningkatnya jumlah pendaftar di Kemenlu dan meningkatnya kualitas para diplomat Indonesia. Pertama, berawal dari pertanyaan bagaimana pola rekrutmen Kemenlu akan calon-calon birokrat di Kemenlu, hal ini termasuk bagaimana rekrutmen dimplomat dan sebagainya. Mati surinya gaung diplomat Indonesia selama saya tahu dimungkinkan karena pola rekrutmen yang itu-itu saja atau tidak progresif. Kedua, Indonesia semakin tunduk pada kekuatan asing karena kebijakan-kebijakan negaranya sendiri. Liberalisasi dibanyak sektor, seperti pertanian dan sebagainya. Hal ini akan bertambah rumit ketika diplomat akan menjadi perpanjangan tangan kebijakan pemerintah di luar negeri. Diplomat hanya akan jadi robot. Dua hal ini adalah alasan saya sebagai orang yang sangat awam akan dunia per-diplomat-an. Saya masih tak mengerti mengapa Indonesia dimata saya masih terlihat seperti orang yang membanggakan sejarah tapi tak mau mempertahankannya dan berlutut di hadapan globalisasi. Saya hanya berharap bahwa dua hal tersebut bisa teratasi dengan cara yang lebih inovatif dan progresif. Hal ikhwal kemerdekaan yang muncul dan meledak-ledak yang sebelumnya terjadi telah membuktikan, Ipso Facto Indonesia lebih cerdik dari pada orang-orang Eropa menyebalkan itu. Maka seperti yang dikatakan Soekarno bahwa kita seharusnya banyak bicara dan banyak berbuat, bukan hanya banyak berbuat saja. Karena kita bukan buruh dari orang asing yang berasal dari luar rumah.

Yogyakarta, 27 Desember 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline