Lihat ke Halaman Asli

Desember di Warung Kopi

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dua gelas Cappucino habis bersama siang. Siang habis menjadi sore. Sore habis oleh mendung yang mendesak Jogja untuk segera malam. Malam yang basah dan gigil.

Aku akan pulang tapi hujan menundanya. Aku membawa jas anti air. Tapi kupikir lebih baik menunggu tumpahan air bah dari awan ini berhenti. Setelah itu membuat malam menjadi toko buku dan kamar.

Hari ini selasa dan aku berasa sangat selasa. Selasa adalah hari yang dibuat orang-orang dari negeri yang jauh. Negeri yang bahkan aku pun belum pernah melihatnya secara langsung. Negeri yang mempunyai banya jalan menuju kotanya.

Berbicara tentang jalan, aku mau tanya. Bagaimana perjalananmu hari ini? Menyenangkankah? Kuharap tak mengecewakan. Karena sebenarnya meski kau kecewa sebaiknya kau ubah kecewa itu menjadi kerumitan yang baik, kerumitan yang tak akan membuatmu bunuh diri.

Aku belum juga bisa pulang. Hujan menundanya.

Penungguanku di warung kopi ini sedikit membosankan. Sebab Adzan mulai mengalun sedang aku tetap melamun.

Menunggu di warung kopi bukan penungguan yang sendiri. Aku menunggu bumi selesai menadah air sore yang biru gelap ini dengan kopi. Seperti manusia yang kebahagiaannya pasti bertemu dengan kepahitan saat menunggunya tercapai.

Ya, bicara tentang kopi aku pernah mengatakan sesuatu padamu tentang kepahitan.

Kau tahu, sekali waktu kepahitan hidup terkadang memang harus dipukul mundur dengan kepahitan yang lain. Kopi misalnya, atau Cappucino yang berusaha menutupi kepahitan dengan manis yang lain. Seperti kenangan misalnya.

Tapi sekali lagi sayang, jangan pernah terlalu menyandar pada kenangan. Ia palsu, karena ia takkan pernah mau berjalan beriringan. Ia selalu mendahului, tak sopan. Seperti ketika dalam perjalanan kaki kita mendahului seorang tua, tentu itu dianggap tak sopan dalam beberapa adat kebiasaan.

Wah, air bah dari langit mulai berkurang bulirnya. Komputer lipat menawarkan realitas yang berbeda. Aku bersosialisasi, aku masih tak mengerti apa yang membuat orang-orang lebih senang berhubungan dengan media 'sosial' dibandingkan dengan kenyataan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline