Lihat ke Halaman Asli

Jaja Mardiansyah

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan

Manusia-manusia Satu Dimensi: Sebuah Renungan

Diperbarui: 15 Juli 2024   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ai

Di era ini, kita sebagai seorang manusia rasanya dituntut untuk terus mampu beradaptasi dengan setiap perkembangan zaman. Mulai dari adaptasi teknologi, pengetahuan, budaya, makanan bahkan trend sosial media. Namun, ketika penulis mulai beranjak dewasa, penulis menyadari hal yang mengganjal.
Perkembangan ini menghasilkan makanan begitu bervariasi, pakaian bervariasi, teknologi bervariasi dan hampir setiap kebutuhan hidup tersedia dengan begitu banyaknya pilihan. Namun, untuk menjalani ingin hidup seperti apa, hobi yang seperti apa, rasanya tak ada pilihan lain selain mengikuti apa yang sudah berjalan di tatanan masyarakat saat ini. 

Begitupun dengan lingkungan di sekitar penulis, ketika di tanya mengenai suatu cita-cita, atau cara pandang sesuatu rasanya tak ada yang jauh berbeda dari kebanyakan orang. Adapun ketika ditanya mengenai kenapa ini bisa terjadi, tak sedikit jawabannya adalah "sudahlah, ikuti saja cara main yang sudah tersedia saat ini"
Fenomena tersebut membuat penulis teringat dengan sebuah konsep menarik yang digagas oleh Herbert Marcuse, konsep manusia satu dimensi. Manusia satu dimensi adalah manusia yang terjebak dalam satu cara berpikir dan bertindak tanpa kemampuan atau keinginan untuk melihat hal tersebut dari sudut pandang dan cara lain.
Padahal setiap manusia diciptakan dalam kondisi yang kompleks dan penuh dengan keunikan. Setiap orang memiliki tingkat kreativitas yang tinggi, dan tentunya pada akhirnya melahirkan pemikiran dan tindakan yang berbeda. Akan tetapi, di lingkungan penulis, rasanya sangat sulit menemukan orang dengan gagasan baru yang berbeda dengan apa yang sudah terjadi di lapangan. Jangankan untuk melakukan tindakan revolusioner, untuk berpikir radikal pun enggan.
Hal ini kemudian membuat penulis termenung dan berpikiran mengenai apa yang menyebabkan hal ini terjadi, faktor apa yang melatarbelakangi manusia-manusia satu dimensi ini (termasuk penulis pribadi). Beberapa faktor tersebut meliputi, Pertama, penggunaan media sosial yang berlebihan. Faktor ini penulis urutkan kepada nomor pertama lantaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap cara berpikir dan bertindak kita.
Sebagai seorang remaja yang gemar bermedia sosial, penulis menyadari bahwa konten yang penulis nikmati setiap harinya memiliki jenis yang sama. Begitupun dengan informasi yang penulis dapatkan, antara satu konten dengan konten yang lain saling menguatkan. Tak jarang pula isi komentarnya berisi dengan pembenaran terhadap isi informasi tersebut, sehingga membuat penulis yang menyimak konten tersebut meyakini bahwa itulah yang benar. 

Itu yang sesungguhnya terjadi tanpa mencek lebih lanjut. Perkembangan algoritma membuat penulis hanya menyaksikan konten yang sesuai dengan kecendrungan penulis. Hal ini menyebabkan penulis tidak mendapatkan informasi yang berbeda, selain apa yang sudah menjadi konsumsi sehari-hari.
Kedua, sistem pendidikan yang dirasakan oleh setiap orang. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mayoritas pendidikan di Indonesia tidak mengajarkan siswanya menjadi seorang pemikir yang kritis dan kreatif. Siswa difokuskan untuk menjadi siswa yang penurut terhadap setiap informasi yang disampaikan oleh guru, dan mampu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
Sehingga, dalam proses pembelajaranpun, yang ditekankan adalah metode hafalan. Dengan standar siswa yang mudah menghafal adalah siswa yang pintar dan mampu menjawab setiap pertanyaan. Minim sekali penekanan penggunaan penalaran dalam metode belajarnya. 

Hal ini kemudian berdampak pada lahirnya individu-individu yang penurut, patuh, tak kritis, dan tak kreatif. Kalaupun ada yang mampu berpikiran demikian, biasanya keberanian untuk mengutarakan ide tersebut dan mebantah status quo sangat minim sekali.
Ketiga, pola asuh orangtua. Pola asuh orangtua berperan sangat penting dalam membentuk karakter anak. Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan terbuka akan ide-ide baru dan penuh dengan suasana diskusi akan cenderung menjadi seorang anak yang berani berbeda dan cenderung memiliki pemikiran yang unik.

Berbanding terbalik dengan seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan tertutup dan minim komunikasi, cenderung menjadi seorang anak yang penurut dan hanya mengikuti arahan.
Terakhir, pola kehidupan masyarakat yang tak terlalu terbuka akan perubahan. Sehingga ketika ada seseorang yang berbeda, ia mendapat perlakuan yang berbeda pula dari masyarakat. Hal ini diperparah oleh pola pikir manusia komunal yang membuatnya tak berani bila berbeda dengan banyak orang.
Faktor-faktor diatas hanyalah beberapa faktor yang penulis rasa berpengaruh terhadap hal itu. Namun barangkali bila teman-teman merasa ada faktor lain yang juga ikut berpengaruh boleh disampaikan di kolom komentar. Hal ini perlu kita sikapi bersama lantaran dampak yang dihasilkan cukup signifikan, seperti minimnya pemikiran kritis, inovatif, dan berpotensi menghambat perkembangan. Selain itu, fanatisme juga berpotensi untuk menciptakan ketegangan dalam sosial dan politik, intoleransi, dan rawan akan perpecahan.

Oleh karena itu, penting bagi kita bersama untuk mulai membangun kebiasaan mempertanyakan segala sesuatu, tak hanya menerimanya apa adanya. Meninjau sesuatunya dari sudut pandang kritis, dan membuat iklim yang terbuka akan setiap perubahan dan pemikiran. Dengan begitu besar potensi untuk melahirkan manusia yang beragam dimensi dengan keunikannya sendiri di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline