Lihat ke Halaman Asli

Langit Turun ke Bumi

Diperbarui: 25 Mei 2018   05:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tengah dibuat sibuk suster-suster rumah sakit siang itu, sementara istri berjuang sendirian di ruang persalinan demi melahirkan jagoan yang dinantikan hasil dari perkawinan setahun silam. Alasannya, butuh penanganan khusus, jadi tak peduli suami sah atau bukan, saya tak diperkenankan masuk ruangan menemaninya.

Takbir dan kalimat-kalimat tauhid, kata Ambu mengisahkan hari bersejarah 20 September 2015, ia gelontorkan seenaknya.

"Benar juga, dari pada kau teriak 'auouo', malah dikira Tarzan nanti," kataku ke si Ambu.

"Enggak pedulilah, dibilang enggak tahu malu juga terserah. Sakit banget," jawab si Ambu tak menggubris apa yang saya bilang.

Sekitar 10 suster beserta dokter yang ada di ruang itu, sambung ceritanya, malah ketawa melihat perilakunya. Awalnya dia marah, merasa tak pantas ditertawakan sebab dia sedang bertaruh nyawa.

Tapi belakangan, si Ambu merasa bahwa itu adalah "cara" mereka untuk tetap tenang saat melayani proses persalinan yang menegangkan.

"Yaudah lah, dimaafin aja. Yang penting semua selamat dan sehat," katanya.

Dipasang alat sana-sini, entah apalah namanya isitri ku tidak tahu. Kakinya juga diikat seperti orang tak waras.

"Dokternya bilang apa? Sampai segitunya," tanyaku heran.

"Enggak apa-apa katanya, gitu aja,"

Kejadian tragis itu berujung suara tangisan bayi, ya... anakku telah hadir. Selamat datang di bumi, Anak Langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline