Laju Joko Widodo atau sapaan akrabnya Jokowi rasa-rasanya tidak terbendung lagi untuk memenangi Pemilihan Presiden mendatang. Di mana-mana dia dielu-elukan oleh masyarakat maupun media. Dalam Politicawave (lembaga pemantau percakapan yang terjadi di sosial media) menunjukkan di seluruh provinsi Jokowi memeroleh suara di atas 50 persen.
Popularitas ini berimbas sangat positif bagi perolehan suara PDI Perjuangan. Saya percaya momentum ini jika terus terjaga hingga pemilihan anggota legislatif maka kemenangan PDI Perjuangan akan menjadi kenyataan.
Tetapi, jikapun nanti PDI Perjuangan memenagi Pileg, mereka tak bisa melepaskan Jokowi sendirian dalam pertarungan ini. Mereka juga harus memikirkan pendamping yang tepat untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap PDI Perjuangan terutama Jokowi. Maka dari itu PDI Perjuangan harus menemukan pendamping lebih dari sekadar Ahok, selain tertib tegas harus juga memiliki pola interaksi yang intens dengan rakyat.
Pertanyaannya, siapakah tokoh yang mampu mengikuti ritme Jokowi?
Saat ini pencapresan Jokowi mendapat tentangan dari kelompok-kelompok Islam. Jika Jokowi merangkul pasangan yang notabene sama-sama nasionalis, PDI Pejuangan akan banyak menemui hambatan dalam menjalankan program-program pemerintahan. Mereka akan menjadi musuh bersama terutama kelompok agamamis yang selama ini mengganggu kinerja Jokowi. Maka dari itu diperlukan tokoh yang bisa diterima oleh segala golongan untuk meredam kebencian mereka terhadap Jokowi.
Sementara ini muncul tokoh-tokoh Islam yang layak disandingkan dengan Jokowi. Semisal Mahfud MD, Din Syamsudin, Anis Matta, Suryadharma Ali, Yusril Ihza Mahendra, Said Aqil Siradj, serta Khofifah Indar Parawansa. Tetapi dilihat dari rekam jejak dan pengalaman memimpin umat, Khofifah Indar Parawansa layak jadi pertimbangan utama untuk menemani Jokowi dalam memimpin Indonesia selama lima tahun ke depan.
Setidaknya ada tiga alasan utama kenapa khofifah layak disandingkan dengan Jokowi. Pertama Khofifah merupakan perempuan yang kenyang pengalaman dalam organisasi. Saat usia 27 tahun ia sudah mewakili PPP di DPR dan menjadi politikus Senayan yang berani mengkritik Orde Baru secara terbuka, lugas, dan tegas. Mbak Tutut pun mengakui keberanian Khofifah dalam mengkritik kepemerintahan Soeharto.
Selain pengalaman menjadi legislatif khofifah juga mengawal pemerintahan Gus Dur yaitu menjadi menteri pemberdayaan perempuan (Ia juga yang mengusulkan perubahan nama dari Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan). Yang dilupakan publik, Khofifah adalah salah satu orang yang merekatkan hubungan Politik Gus Dur dan Megawati. Secara rekam jejak khofifah dan megawati memiliki hubungan yang baik.
Kedua khofifah memiliki sifat keras seperti Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok dan luwes seperti Jokowi. Selama memimpin muslimat Khofifah tidak henti berkeliling mengunjungi jamaahnya hingga pelosok nusantara. Hari-harinya banyak dialokasikan untuk menghidupkan muslimat. Wajar saja kepemimpinan Khofifah mampu menarik massa menjadi anggota muslimat. Hingga kini jumlah anggota muslimat mencapai 25 juta orang. Muslimat merupakan organisasi perempuan terbesar di dunia. Jumlah massa loyal ini yang tidak dimiliki oleh tokoh-tokoh Islam yang saya sebutkan di atas.
Ketiga Khofifah adalah seorang perempuan. Setelah Megawati belum ada tokoh permpuan lain yang memiliki kesempatan membuktikan kemampuannya dalam memimpin bangsa.
Dengan perpaduan massa hijau dan merah, antara Jokowi dan Khofifah yang tempo hari dimunculkan PPP sebagai salah satu pemimpin potensial akan menjadi perpaduan yang harmonis. Karena memang jejak sejaran hijau dan merah ini selalu menjadi kekuatan utama dalam kepemimpinan Indonesia.
Sekali lagi, proses ini memerlukan kelegowoan tokoh-tokoh senior partai seperti Megawati dan Surya Dharma Ali. Apakah mereka bersedia mewujudkan koalisi merah-hijau seperti 15 tahun silam?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H